Sidang DKPP Ungkap Dugaan Tekanan Politik dan Ketertutupan Data C-Hasil di KPU Jayapura
JAYAPURA, Suarajurnalis.online.com – Sidang etik Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang digelar terhadap tiga komisioner KPU Kota Jayapura pada Jumat (16/5) bukan hanya menjadi panggung klarifikasi, melainkan menyeret publik pada satu pertanyaan krusial: sedang diuji etik atau ditekan secara politis?
Bertempat di Ruang Sidang Mapolda Papua, sidang perkara Nomor 74-PKE-DKPP/II/2025 ini menyoroti laporan yang diajukan oleh Bambang Rettob, melalui kuasa hukumnya, terhadap Ketua dan dua anggota KPU Kota Jayapura. Namun alih-alih membuktikan kesalahan prosedural, sidang justru menyingkap dugaan sistematis: akses terbatas terhadap data C-Hasil dan indikasi tekanan terhadap penyelenggara yang tidak sehaluan dengan kepentingan politik tertentu.
Salah satu operator Sirekap KPU Kota Jayapura secara gamblang menyatakan bahwa dalam pleno rekapitulasi, pihaknya tidak memiliki akses ke formulir C-Hasil yang menjadi rujukan utama penghitungan suara. “Kami hanya membuka data D-Hasil. Formulir C dari TPS tidak tersedia saat itu,” ungkapnya di hadapan majelis DKPP.
Pernyataan ini memunculkan sorotan tajam dari berbagai pihak. Pengamat Pemilu Rinto Maniani menyebut kondisi tersebut sebagai ancaman terhadap prinsip keterbukaan. “Jika penyelenggara sendiri tidak bisa mengakses data dasar, bagaimana publik bisa percaya proses ini bersih dari manipulasi?” tegasnya.
Namun yang lebih mengkhawatirkan adalah aroma politisasi di balik laporan tersebut. Ketua KPU Kota Jayapura bahkan mempertanyakan mengapa pihak-pihak kunci yang disebut-sebut dalam sidang, seperti Koordinator Wilayah (Korwil) Jayapura Selatan dan PPD, tidak turut dilaporkan.
“Kenapa tidak dilaporkan saja Desy Itaar selaku Korwil Jayapura Selatan?” tanyanya, mengisyaratkan adanya potensi pemilahan pelaporan demi motif tertentu.
Salah satu anggota KPU yang turut diadukan bahkan mengaku tidak memahami alasan dirinya dilaporkan atas kejadian yang terjadi di luar wilayah tugasnya. “Distrik yang saya tangani tidak bermasalah. Tapi saya justru dilaporkan atas kejadian di wilayah lain,” ujarnya.
Situasi ini memunculkan dugaan bahwa proses etik DKPP mulai dijadikan alat tekan terhadap penyelenggara yang tidak tunduk pada garis politik tertentu. Apalagi, dalam persidangan sempat disebut-sebut dugaan kedekatan antara Korwil Jayapura Selatan dengan partai politik, salah satunya PDIP, yang ditengarai sebagai alasan absennya nama-nama tertentu dalam laporan.
“Jika laporan ke DKPP disusun selektif demi menjatuhkan penyelenggara tertentu, ini bukan soal etik lagi, tapi rekayasa kekuasaan,” ujar analis politik Yafet Mokay. Ia mengingatkan, bila DKPP tidak jeli membedakan kritik objektif dengan aduan yang sarat kepentingan, lembaga ini bisa menjadi panggung baru pertempuran politik lokal.
Di tengah tekanan itu, KPU Kota Jayapura menegaskan komitmen mereka menjalankan tugas sesuai regulasi. “Kami tidak bekerja atas opini atau tekanan, tapi berdasarkan undang-undang dan juknis. Fitnah seperti ini mencederai proses demokrasi yang sudah kami jalankan dengan hati-hati,” kata Ketua KPU.
DKPP menutup sidang dengan menyatakan akan menilai semua fakta secara objektif. Tapi pertanyaan publik kini menggantung: Apakah DKPP benar-benar bisa menjaga marwahnya sebagai lembaga kehormatan, atau justru akan terjebak dalam arus tarik-menarik politik yang menggerus keadilan? (Redaksi)