Yan Christian Warinussy: Papua Belum Merdeka dari Konflik dan Eksploitasi SDA

Suara Jurnalis | Manokwari – Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy, SH, menyuarakan keprihatinannya terhadap kondisi hak asasi manusia (HAM) di Tanah Papua yang hingga kini tidak menunjukkan perbaikan signifikan, meski Indonesia telah mencapai usia ke-80 tahun kemerdekaannya pada 17 Agustus 2025.

Menurut Warinussy, di saat seluruh rakyat Indonesia bersukacita memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Proklamasi Kemerdekaan RI, justru masyarakat di beberapa wilayah Papua masih hidup dalam ketakutan akibat konflik bersenjata yang tak kunjung selesai.

Bacaan Lainnya

Ia menyoroti khususnya kondisi di Kabupaten Intan Jaya, Provinsi Papua Pegunungan, dan Provinsi Papua Tengah, yang masih menjadi daerah rawan konflik. Korban terus berjatuhan, baik dari pihak TNI/Polri, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), maupun rakyat sipil yang tidak bersalah.

“Di banyak daerah lain, rakyat menikmati suasana sukacita dan keharuan dalam merayakan kemerdekaan. Tetapi di Papua, justru masih terdengar isak tangis akibat jatuhnya korban jiwa,” ujar Warinussy. Selasa, (19/08/2025).

Sebagai perbandingan, ia menyinggung masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang merayakan 20 tahun perdamaian pasca penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki pada 2005 lalu. Kesepakatan itu berhasil mengakhiri konflik panjang dan membuka jalan bagi kehidupan damai di Aceh.

Namun, kata Warinussy, kondisi Papua berbeda jauh. Alih-alih mendorong perdamaian, pemerintah justru melakukan pemekaran hingga Papua kini terbagi menjadi enam Daerah Otonomi Baru (DOB).

Pemekaran itu, menurutnya, berpotensi menjadi strategi politik yang mirip dengan praktik “devide et impera” atau politik pecah belah yang pernah diterapkan Belanda di masa lalu.

Lebih jauh, Warinussy menegaskan bahwa pemusatan kekuasaan dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Papua semakin menimbulkan masalah.

Ia menyebut beberapa wilayah strategis seperti Tembagapura (Timika), Blok Wabu (Intan Jaya), proyek Gas Alam Cair (Teluk Bintuni), hingga proyek Food Estate (Merauke), yang menurutnya lebih menekankan kepentingan negara dan korporasi ketimbang kesejahteraan masyarakat adat Papua.

“Ini bentuk upaya sistematis negara untuk mengambil alih kekuasaan atas sumber daya di tanah Papua,” ungkapnya.

Warinussy menilai bahwa konflik bersenjata yang terus terjadi dengan dalih “gangguan keamanan” dari Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) kini semakin dipahami rakyat Papua sebagai bagian dari strategi mempertahankan kontrol atas tanah mereka.

Bangkitnya perlawanan rakyat di wilayah Intan Jaya, Merauke, Dogiyai, Maybrat, Moskona, hingga Teluk Bintuni adalah tanda meningkatnya kesadaran sosial politik orang asli Papua.

Ia bahkan menghubungkannya dengan teori Paulo Freire, tokoh pendidikan dunia yang menekankan pentingnya kesadaran kritis bagi kaum tertindas dalam melawan penindasan.

“Kesadaran itu kini nyata di Papua. Rakyat mulai memahami bahwa perlawanan adalah cara untuk mempertahankan tanah dan masa depan mereka,” jelasnya.

Meski demikian, ia menegaskan bahwa orang Papua sebenarnya masih menyimpan keinginan kuat untuk menyelesaikan konflik melalui jalan damai.

Hal itu sejalan dengan amanat Pasal 44, 45, dan 46 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang memberikan ruang untuk penyelesaian konflik melalui dialog.

Namun, dalam praktiknya, menurut Warinussy, pemerintah Indonesia masih menunjukkan sikap “segan” bahkan “enggan” menyentuh opsi dialog.

Padahal, jaringan masyarakat sipil seperti Jaringan Damai Papua (JDP) telah berulang kali mendorong jalan perundingan, termasuk melalui wacana pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagaimana diatur dalam UU Otonomi Khusus.

Sayangnya, prinsip dasar penyelesaian konflik melalui dialog atau negosiasi sebagaimana dicontohkan dalam MoU Helsinki untuk Aceh, hingga kini belum dianggap relevan untuk Papua.

“Ini yang menjadi ganjalan besar. Papua tetap dibiarkan berdarah karena ada banyak kepentingan yang bermain di balik eksploitasi sumber daya alamnya,” tegas Warinussy.

Ia menutup pernyataannya dengan menyebut bahwa Papua masih dipandang sebagai “rumah masa depan” bagi Indonesia, meski di balik itu tersimpan penderitaan panjang rakyat asli Papua.

(Refly)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *