Suara Jurnalis |Manokwari , — Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy, SH, menyampaikan protes keras terhadap tindakan aparat keamanan dan Polri yang diduga menghalangi kebebasan berekspresi para aktivis Greenpeace dan aktivis Papua.
Aksi damai itu terjadi saat unjuk rasa menolak penambangan nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, yang digelar di Hotel Pullman Central Park, Jakarta Barat, Selasa (3/6).
Menurut Warinussy, tindakan represif terhadap para aktivis menunjukkan semakin menyempitnya ruang demokrasi di Indonesia. Padahal, kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum dijamin oleh konstitusi dan berbagai instrumen hak asasi manusia internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
“Apa yang dilakukan oleh aktivis lingkungan hidup adalah bagian dari akumulasi perlawanan terhadap ketertindasan sosial-politik yang dialami masyarakat adat di Pulau Gag, Kawe, dan Manirem,” tegas Warinussy, yang juga dikenal sebagai pembela hak asasi manusia di Tanah Papua.
Ia menambahkan bahwa masyarakat adat di wilayah Raja Ampat kini berada dalam situasi krisis akibat wilayah hidup mereka dirusak oleh aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh korporasi besar, dengan dukungan diam-diam dari elite politik dan birokrasi lokal.
“Sangat menyedihkan, elite demokrasi dan birokrasi di Papua Barat Daya dan Raja Ampat seperti bungkam seribu bahasa. Tidak ada sikap membela rakyatnya sendiri. Mereka lebih memilih diam saat tanah airnya dihancurkan,” kritik Warinussy.
LP3BH Manokwari secara tegas mendesak Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka agar segera menghentikan seluruh aktivitas tambang nikel di Pulau Gag karena dampaknya yang nyata terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat adat.
Warinussy menekankan bahwa kerusakan ekosistem yang ditimbulkan oleh penambangan nikel telah melewati batas toleransi ekologis dan mengancam kelangsungan hidup masyarakat lokal.
“Ini bukan sekadar isu lokal, tapi soal hak hidup dan keberlanjutan lingkungan global,” ujarnya.
Ia juga mendesak Bupati Raja Ampat dan Gubernur Papua Barat Daya untuk membuka dokumen AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) kepada publik, agar masyarakat adat dan organisasi sipil dapat mengawasi secara objektif dampak dari kegiatan tambang tersebut.
Sebagai lembaga yang bergerak di bidang advokasi hukum dan HAM, LP3BH Manokwari berkomitmen untuk terus mendukung gerakan masyarakat sipil dalam menolak pertambangan yang eksploitatif dan tidak berkeadilan, khususnya di wilayah Tanah Papua.
“Saya pastikan, kami tidak akan diam. Ini adalah soal masa depan generasi Papua dan kelestarian tanah leluhur mereka. Kami akan terus bersuara dan mendampingi mereka dalam perjuangan hukum maupun advokasi publik,” pungkas Warinussy.
LP3BH Manokwari juga menyerukan agar ketiga aktivis lingkungan hidup dari Green Peace yaitu Iqbal Damanik, Eka dan Rully serta aktivis Perempuan Papua Paulina agar dibebaskan demi hukum dari proses hukum yang cenderung bersifat kriminalisasi.
LP3BH Manokwari meyakini bahwa aksi keempat aktivis lingkungan hidup tersebut dijamin dan terlindungi di dalam amanat Pasal 28 Undang Undang Dasar (UUD) 1946 sebagai konstitusi Negara Hukum Republik Indonesia.
(Refly)