Suara Jurnalis | Manokwari – Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy, SH kembali menyoroti indikasi penyimpangan dalam pelaksanaan proyek strategis nasional di Papua Barat, khususnya pembangunan Jalan Kaimana–Wasior yang dimulai sejak tahun anggaran 2022 hingga 2023.
Menurut Warinussy, terdapat beberapa proyek dalam rangka pembangunan ruas jalan tersebut yang dimenangkan oleh perusahaan-perusahaan yang diduga dimiliki oleh satu orang yang sama, yakni William Hendrik. Hal ini menunjukkan potensi adanya praktik monopoli atau pengaturan tender.
Salah satu perusahaan tersebut adalah PT Ana Cenderawasih Permai, yang menurut data beralamat di Jalan Trikora, RT 003, Kaimana, Papua Barat. Perusahaan ini memenangkan tender proyek pembangunan Jalan Kaimana–Sisir–Werua–Lobo–Triton pada 5 Juni 2023 dengan nilai penawaran Rp48.297.100.000.
Tak hanya itu, PT Ana Cenderawasih Permai juga sebelumnya memenangkan tender pembangunan Jalan Lobo–Werua–Orai pada 7 November 2022, dengan harga penawaran yang sama, yakni Rp48.297.100.000.
Perusahaan kedua adalah PT Veneu Inari Pratama, beralamat di Batu Putih, RT 001, Krooy, Kaimana. Perusahaan ini juga disebut-sebut dimiliki oleh orang yang sama, William Hendrik.
PT Veneu Inari Pratama memenangkan tender pembangunan ruas jalan Triton–Lobo–Werua–Sisir–Kaimana pada 27 Mei 2023 dengan nilai penawaran Rp48.564.560.000. Selain itu, perusahaan ini juga memenangkan proyek ruas jalan Agona–Saria dengan nilai Rp23.491.812.767,79.
“Total dari semua proyek itu mencapai lebih dari Rp149 miliar dan semuanya diduga hanya dikerjakan oleh dua perusahaan yang sebenarnya dikendalikan oleh satu individu,” ungkap Warinussy dalam pernyataan resminya, Jumat, (11/07/2025).
Ia menyebut, jika benar dua perusahaan tersebut berada di bawah satu kepemilikan, maka telah terjadi dugaan pelanggaran prinsip persaingan usaha yang sehat dan patut didalami oleh aparat penegak hukum.
Lebih jauh, Warinussy menyoroti bahwa walaupun dana dari proyek-proyek ini telah dicairkan hampir atau bahkan seluruhnya, namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa pembangunan fisik jalan tersebut belum selesai.
“Apakah jalan benar-benar dibangun? Atau hanya proyek fiktif yang menyedot anggaran negara? Ini yang harus dibuktikan oleh Kejaksaan Tinggi Papua Barat,” ujarnya.
LP3BH juga menilai perlu adanya pemeriksaan terhadap para pihak dalam lingkup Dinas PUPR Provinsi Papua Barat, termasuk PA, KPA, PPK, serta pihak pengawas teknis lapangan.
“Semua pihak mulai dari penyedia jasa, pengawas lapangan, hingga pejabat pembuat komitmen harus diperiksa. Ini bukan proyek kecil – hampir Rp150 miliar uang rakyat dipertaruhkan di sini,” tegas Warinussy.
Jika terbukti terjadi penggelapan, mark-up, atau pengerjaan fiktif, maka hal itu masuk dalam kategori tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2, 3, dan 18 UU Tipikor.
Ia menambahkan bahwa indikasi persekongkolan dalam pengadaan, penyalahgunaan kewenangan, serta pertanggungjawaban yang tidak transparan juga dapat menjerat semua pihak dalam rantai proyek ini.
LP3BH bahkan menyatakan kesiapannya untuk menyerahkan data dan informasi tambahan kepada Kejati Papua Barat, termasuk dokumen-dokumen tender dan rekam jejak perusahaan-perusahaan tersebut.
“Kami ingin proyek pembangunan benar-benar bermanfaat untuk membuka isolasi daerah, bukan menjadi ladang bancakan segelintir elite,” katanya.
Lebih dari itu, Warinussy mendesak Kejaksaan Tinggi Papua Barat agar membuka kembali penyelidikan dan melakukan audit forensik terhadap pelaksanaan proyek-proyek tersebut.
Ia juga mendukung keterlibatan lembaga pengawas lain seperti BPK dan KPK jika Kejati tidak mampu atau tidak transparan dalam menindaklanjuti kasus ini.
“Tidak boleh ada kompromi terhadap dugaan proyek fiktif. Jika benar dana dicairkan tapi jalan tidak ada, maka itu adalah perampokan uang negara,” tegas Warinussy.
LP3BH memastikan akan terus mengawal isu ini hingga ada kejelasan hukum dan pertanggungjawaban dari pihak-pihak yang terkait, baik penyedia jasa maupun pejabat pemerintah.
(Refly)