Peran Soeharto Sengaja Dihilangkan dalam Sejarah SU 1 Maret 1949?

Indramayu, Suarajurnalis – Ketika dunia internasional mengira Indonesia telah tumbang di bawah tekanan Belanda, dentuman meriam di Yogyakarta pada pagi 1 Maret 1949 menjadi penanda bahwa semangat kemerdekaan belum padam. Serangan Umum 1 Maret bukan sekadar pertempuran, melainkan sandi kebangkitan bangsa. Di balik keberhasilan itu, dua nama besar mencuat — Letkol Soeharto dan Sri Sultan Hamengku Buwana IX, dua tokoh yang hingga kini kisahnya masih menjadi perdebatan panjang dalam sejarah negeri ini.

Kontroversi yang Tak Pernah Padam

Isu bahwa nama Soeharto sengaja dihapus dari sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949 sempat mengguncang publik. Namun, Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, menegaskan bahwa tudingan tersebut tidak benar.

Menurutnya, Keputusan Presiden (Keppres) tentang Serangan Umum 1 Maret 1949 bukanlah buku sejarah, melainkan penetapan resmi atas momen penting bangsa. Karena itu, meski nama Soeharto tak tercantum di dalam Keppres, perannya tetap diakui dalam naskah akademik yang menyertai dokumen tersebut.

Mahfud MD menjelaskan, “Nama Soeharto, Nasution, dan tokoh-tokoh lain tetap disebut dalam naskah akademik keppres yang bersumber komprehensif.”

Ia juga membandingkan hal ini dengan naskah Proklamasi 1945, yang hanya memuat nama Soekarno-Hatta, sementara puluhan tokoh pejuang lainnya tidak disebut. Dalam konsiderans Keppres, hanya empat nama besar yang dituliskan sebagai penggagas dan penggerak utama: Sri Sultan Hamengku Buwana IX, Soekarno, Hatta, dan Jenderal Sudirman.

Kesaksian Kapten Abdul Latief: Soeharto dalam Sorotan

Namun, tidak semua catatan sejarah sejalan. Ada kesaksian yang cukup mengejutkan dari Kapten Abdul Latief, salah satu pejuang yang ikut bertempur dalam peristiwa tersebut. Dalam catatannya, Latief menulis bahwa setelah serangan pada 1 Maret 1949, ia dan pasukannya yang tersisa berusaha melarikan diri dari kepungan Belanda.

Ketika sampai di markas gerilya di Kuncen, Yogyakarta, Latief mengaku bertemu Letkol Soeharto, sang Komandan Wehrkreise, yang kala itu sedang menikmati soto babat bersama ajudannya.

Latief kemudian melapor, namun Soeharto disebut memerintahkan dirinya untuk kembali menyerang pasukan Belanda yang masih tersisa di sekitar area tersebut.

Kisah ini kemudian turut dicatat dalam buku Kesaksianku Tentang G30S karya Soebandrio, di mana disebutkan bahwa pada saat pasukan Latief beristirahat, mereka menemukan Soeharto dalam keadaan santai sebuah gambaran yang menimbulkan beragam tafsir di kalangan sejarawan.

Dua Pilar Perjuangan: Sultan dan Soeharto

Terlepas dari kontroversi, sebagian besar sejarawan berpendapat bahwa baik Soeharto maupun Sri Sultan HB IX memiliki peran vital dalam Serangan Umum 1 Maret.

Menurut Restu Gunawan, Sekretaris Jenderal Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI), keduanya adalah dua pilar perjuangan yang saling melengkapi.

Sri Sultan HB IX disebut sebagai penggagas utama serangan tersebut. Dialah yang pertama kali mencetuskan ide untuk menyerang Yogyakarta secara besar-besaran demi membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia masih eksis dan TNI belum hancur.

Sementara Letkol Soeharto berperan sebagai komandan lapangan yang mengatur strategi dan pelaksanaan serangan secara taktis di medan pertempuran.

Serangan yang hanya berlangsung selama enam jam itu berhasil mengibarkan kembali bendera Merah Putih di jantung Yogyakarta, mengguncang moral pasukan Belanda, dan menyadarkan dunia internasional bahwa Republik Indonesia masih berdiri tegak.

Jejak Abadi dalam Sejarah

Serangan Umum 1 Maret 1949 bukan hanya kisah militer, tetapi juga simbol persatuan dan keberanian. Sri Sultan HB IX menunjukkan kebijaksanaan seorang pemimpin yang berani membuka keratonnya bagi perjuangan republik, sementara Soeharto menorehkan kepemimpinan lapangan yang strategis dan disiplin.

Dua tokoh ini, dengan caranya masing-masing, telah menciptakan momentum sejarah yang mengubah arah perjuangan bangsa.

Kontroversi boleh terus bergulir, tetapi sejarah tak pernah bisa menghapus jejak mereka di tanah Yogyakarta kota yang menjadi saksi bahwa kemerdekaan Indonesia dipertahankan bukan hanya dengan senjata, tetapi juga dengan semangat dan pengorbanan tanpa batas.

Sumber : netralnews.com
red: Al Aris

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *