Suara Jurnalis | Manokwari, — Protes keras dilayangkan Koordinator Tim Advokasi, Yan Christian Warinussy SH, terhadap Jaksa Penuntut Umum (JPU) Maria Fanisa Gefilem, SH, dalam kasus penganiayaan terhadap aktivis lingkungan hidup Sulfianto Alias. Protes ini disampaikan setelah sidang tuntutan yang digelar secara daring di Pengadilan Negeri Manokwari Kelas I A.
Dalam persidangan tersebut, JPU Maria Gefilem hanya menuntut para terdakwa Leonardo Fredz Asmorom, Frando Marselino Warbal, Markus Marlon Kurube, Benyamin Harrison Josias Manobi, dan Daniel Alan Samori dengan hukuman 10 bulan penjara, dikurangi masa tahanan yang sudah dijalani. Tuntutan ini dinilai sangat merendahkan martabat dan keadilan bagi korban.
“Ini sungguh melecehkan kerja-kerja advokasi dan perjuangan aktivis lingkungan, tidak hanya di Tanah Papua, tetapi juga di tingkat nasional dan internasional,” tegas Warinussy dalam keterangannya usai sidang. Selasa. (14/07/2025)
Sebagai Advokat dan Pembela HAM berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Warinussy menyatakan bahwa tuntutan tersebut tidak mencerminkan fakta hukum yang terungkap di persidangan. Ia menilai JPU gagal melihat peran para terdakwa sebagai pelaku kekerasan brutal terhadap kliennya.
“Saudari JPU tidak menjalankan fungsinya sebagai wakil negara yang seharusnya juga mewakili korban. Justru terlihat seolah-olah membela para terdakwa, khususnya Terdakwa Daniel Alan Samori yang merupakan anggota Polri,” lanjut Warinussy.
Ia menyoroti bahwa Daniel Alan Samori, yang seharusnya menjalankan tugas sebagai aparat penegak hukum, justru ikut serta dalam tindak kekerasan tersebut. Bahkan dalam persidangan, hal ini menjadi perhatian dan dipertanyakan langsung oleh Majelis Hakim.
Majelis Hakim yang diketuai oleh M. Ash Siddiq, SH, mencatat adanya indikasi pelanggaran etik dan hukum oleh terdakwa yang merupakan anggota Polri. Namun, hal ini tidak tercermin dalam tuntutan yang diajukan JPU.
Warinussy menyampaikan bahwa sejak awal pihaknya telah mencurigai ketidaknetralan JPU dalam menangani kasus ini.
“Kami menduga adanya upaya menyelamatkan Terdakwa Samori dari tanggung jawab hukumnya sebagai aparat negara,” ujarnya tegas.
Ia meminta Majelis Hakim Pengadilan Negeri Manokwari untuk tidak terpengaruh oleh tuntutan rendah dari JPU, melainkan menjatuhkan hukuman maksimal kepada para terdakwa sesuai dengan Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP, yang ancamannya mencapai tujuh tahun penjara.
“Penganiayaan terhadap Sulfianto adalah tindakan brutal yang tidak bisa dimaafkan. Tidak ada alasan pembenar maupun pemaaf dalam hukum yang dapat melindungi para pelaku dari pertanggungjawaban pidana,” jelas Warinussy.
Ia juga mendesak agar Daniel Alan Samori diberhentikan secara tidak hormat dari institusi Polri karena telah mencoreng nama baik kepolisian dan melanggar Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
Tim Advokasi menegaskan bahwa keadilan bagi korban tidak boleh dikompromikan demi kepentingan institusional atau hubungan kuasa. Setiap pelaku kekerasan harus dihukum setimpal, apalagi jika kekerasan tersebut dilakukan oleh aparat.
“Kami akan terus mengawal proses ini hingga keadilan benar-benar ditegakkan, termasuk membawa perkara ini ke Komisi Kejaksaan RI dan Komnas HAM bila diperlukan,” tegas Warinussy.
Kasus penganiayaan ini mendapat sorotan luas dari berbagai elemen masyarakat sipil, termasuk jaringan aktivis lingkungan dan organisasi hak asasi manusia yang mendesak agar peradilan benar-benar berpihak pada korban.
Di akhir pernyataannya, Warinussy mengajak seluruh elemen masyarakat untuk tidak diam atas praktik peradilan yang tidak adil.
“Kita harus bersuara dan melawan segala bentuk ketidakadilan yang mengancam hak asasi warga negara,” pungkasnya.
(Refly)