Indramayu, Suarajurnalis – Hari-hari ini, banyak warga Nahdliyin merasakan kegelisahan melihat dinamika yang terjadi di pucuk pimpinan Nahdlatul Ulama (NU). Riuh rendah pemberitaan tentang desakan mundur terhadap Ketua Umum PBNU hingga ketegangan internal seolah menggambarkan sebuah rumah yang sedang retak.
Pertanyaan yang muncul di benak banyak orang sederhana namun mendasar: Apakah NU sedang dibawa lari menjauh dari relnya? Di mana wajah ramah dan pengayoman yang dulu kita rasakan? Ada kerinduan yang membuncah pada kearifan KH. Ali Ma’shum yang mengayomi, kedalaman fiqh sosial KH. Sahal Mahfudz yang meneduhkan, dan tentu saja, keluwesan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang humanis.
Kerinduan pada sosok-sosok raksasa inilah yang sebenarnya hendak dijawab oleh KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) saat maju dalam Muktamar ke-34 di Lampung. Ia mengusung visi yang diambil dari judul buku catatan kenangannya yang ditulis AS Laksana (2021): “Menghidupkan Gus Dur”.
Namun, frasa ini seringkali disalahpahami. Bagi Gus Yahya, “Menghidupkan Gus Dur” bukanlah upaya romantisme untuk menjadi “Gus Dur Kedua”, apalagi mencoba meniru gaya kepemimpinan pendahulunya itu secara tekstual. Ia sadar betul bahwa zaman telah berubah, dan kapasitas setiap pemimpin berbeda.
Di sinilah letak titik tolak yang penting untuk kita pahami. Gus Yahya tidak memposisikan diri sebagai “Ratu Adil” baru bagi NU. Dalam buku Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama (2020), dengan sangat tawadhu ia justru menulis sebuah pengakuan:
“ – , , , … . .”
Pengakuan sebagai “kutu” ini bukan sekadar basa-basi. Ini adalah bentuk kesadaran diri (self-awareness) yang mendalam. Gus Yahya menyadari satu fakta pahit: Para kiai karismatik seperti Kiai Ali, Kiai Sahal, dan Gus Dur telah tiada, dan kita tidak bisa selamanya menggantungkan nasib jam’iyah pada kehadiran sosok “Wali” secara terus-menerus.
Maka, Gus Yahya memilih jalan yang radikal: ia tidak mencoba menjadi “sosok” pengganti itu. Ia justru menggeser tumpuan NU, dari yang semula bertumpu pada karisma figur, menjadi bertumpu pada Konstruksi Organisasi.
Inilah inti dari “Menghidupkan Gus Dur” versi Gus Yahya. Jika Gus Dur menghidupkan nilai-nilai kemanusiaan dengan manuver pribadinya yang lincah, Gus Yahya menghidupkannya dengan membangun “Mesin Peradaban” yang kokoh. Ia meyakini bahwa warisan para waliyullah itu harus dilembagakan menjadi sistem yang bekerja otomatis, terukur, dan tidak mudah goyah oleh pergantian zaman.
,
Upaya membangun mesin peradaban itu diterjemahkan Gus Yahya melalui sebuah konsep yang ia sebut secara eksplisit dalam bukunya: Hukumah an-Nahdlah atau Pemerintahan NU. Istilah ini mungkin terdengar ambisius, namun maknanya sangat mendasar: NU harus dikelola dengan kedisiplinan dan fungsi layaknya sebuah negara yang melayani warganya, bukan lagi sekadar paguyuban yang berjalan berdasarkan suasana hati.
Selama berpuluh tahun, NU sering bergerak layaknya kerumunan (crowd)—besar secara jumlah, riuh secara suara, namun acapkali tercerai-berai saat menghadapi gelombang besar. Gus Yahya ingin mengubah kerumunan itu menjadi barisan (jam’iyah) yang rapi, terstruktur, dan satu komando.
Mengapa transformasi ini mendesak? Jawabannya ada pada visi besar yang diusung PBNU hari ini: “Merawat Jagat, Membangun Peradaban”.
Gus Yahya menyadari, mandat sejarah NU di abad kedua ini bukan lagi sekadar mengurusi kenduri lokal, melainkan ikut serta merawat tatanan dunia yang sedang sakit. Namun, bagaimana mungkin NU bisa menjadi juru damai dunia atau menawarkan solusi bagi konflik kemanusiaan global, jika di rumahnya sendiri ia mudah didikte, digembosi, atau dijual murah untuk kepentingan politik sesaat?
Di sinilah letak relevansi dari langkah-langkah “tidak populer” yang kita saksikan belakangan ini. Penegakan aturan organisasi (AD/ART dan Peraturan Perkumpulan) yang terasa kaku, verifikasi dan validasi pengurus cabang yang ketat, hingga disiplin larangan rangkap jabatan, bukanlah birokratisasi untuk gagah-gagahan. Itu semua adalah upaya memasang “tulang punggung” agar tubuh raksasa NU bisa berdiri tegak.
Gus Yahya sedang “memagari” NU dengan aturan yang jelas. Tujuannya bukan untuk membatasi gerak para kiai atau kader, melainkan untuk melindungi marwah jam’iyah. Ia ingin memastikan bahwa setiap langkah NU—baik dalam urusan ekonomi, pendidikan, maupun politik kebangsaan—didasarkan pada keputusan institusi yang berwibawa, bukan atas nama pribadi-pribadi yang mengatasnamakan lembaga. AD/ART hasil Muktamar diletakkan sebagai panglima tertinggi, menggantikan selera subjektif pengurus.
Tentu saja, mengubah budaya organisasi dari yang semula serba permisif-kultural menjadi tertib-struktural menimbulkan guncangan hebat. Ada kenyamanan yang terusik. Ada kebiasaan lama “jalan pintas” yang kini tertutup palang pintu regulasi.
Apa yang kita lihat sebagai “kemelut” di akhir November 2025 ini sejatinya adalah gesekan tektonik dari proses transisi tersebut. Ketika ada manuver yang mencoba menggoyang kepemimpinan dengan cara-cara lama—mengandalkan klaim sepihak tanpa prosedur—sistem baru yang dibangun Gus Yahya bereaksi.
Menariknya, dalam ujian berat ini, kita melihat sebuah fenomena yang menepis kekhawatiran banyak orang. Ternyata, penguatan struktur tidak serta-merta mematikan kultur.
Dukungan bulat para kiai dalam Silaturahim Alim Ulama di Gedung PBNU (23/11/2025) membuktikan satu hal: para kiai kita, pewaris sanad keilmuan yang muttashil (bersambung), memahami betul bahwa untuk menjaga hima (benteng) agama dan negara di zaman yang kian liar ini, dibutuhkan lebih dari sekadar karisma. Dibutuhkan ketertiban barisan.
Sikap para kiai sangat tegas: Gus Yahya tidak akan mundur dan tetap sah memimpin PBNU hingga Muktamar yang akan datang. Konsolidasi ini bahkan tidak berhenti di Jakarta; rencananya, pertemuan serupa yang lebih luas akan digelar di Lirboyo. Ini adalah sinyal kuat bahwa “Kultur” (Pesantren) sedang pasang badan untuk melindungi “Struktur” (PBNU) dari upaya delegitimasi yang tidak konstitusional.
Restu para kiai terhadap langkah Gus Yahya menegaskan bahwa antara “Kewalian” (aspek spiritual/kultural) dan “Pemerintahan” (aspek manajerial/struktural) bisa berjalan beriringan. Gus Yahya berhasil meyakinkan para kiai bahwa sistem yang ia bangun adalah washilah (perantara) terbaik untuk menjaga maqashid (tujuan) luhur NU hari ini.
Silaturahim Alim Ulama di akhir November ini bukanlah akhir dari badai. Ia hanyalah sebuah etape penting di mana kuda-kuda organisasi dikuatkan kembali. Kita tidak boleh naif: guncangan ini kemungkinan besar masih akan terus berlangsung, dalam berbagai bentuk dan intensitas, setidaknya hingga Muktamar yang akan datang.
Mengapa? Karena apa yang sedang dilakukan Gus Yahya adalah sebuah operasi bedah total terhadap budaya organisasi yang sudah mengakar puluhan tahun. Mengubah kultur “paguyuban” yang permisif menjadi “barisan” yang disiplin pasti mengganggu kenyamanan banyak pihak. Ada kemapanan yang terusik, ada akses “jalan tikus” yang tertutup, dan ada kepentingan pragmatis yang terhambat oleh tembok konstitusi.
Maka, apa yang terjadi hari ini dan ke depan adalah sebuah pertaruhan sejarah bagi Nahdlatul Ulama.
Jika langkah Gus Yahya ini berhasil bertahan dan menang, NU akan melangkah maju menjadi organisasi raksasa yang modern, mandiri, dan berwibawa. Sebuah organisasi yang digerakkan oleh sistem yang ajeg, yang mampu menjadi pemain global (global player) tanpa harus mengemis pada kekuasaan politik domestik. Inilah wujud nyata dari visi “Menghidupkan Gus Dur” dan “Membangun Peradaban”.
Sebaliknya, jika langkah pembenahan ini kalah—jika sistem berhasil dijebol oleh manuver elite yang tidak taat asas—maka NU akan ditarik mundur ke belakang. Kita akan kembali menjadi kerumunan besar yang riuh namun rapuh, yang mudah dipecah-belah, dan yang marwahnya bergantung semata-mata pada apakah kita punya “tokoh sakti” atau tidak.
Di sinilah letak urgensi bagi kita semua. Gus Yahya telah mengambil risiko besar dengan menjadi “Arsitek” yang tidak populer demi menegakkan pilar-pilar sistem. Tugas kita, warga Nahdliyin yang sadar, bukan sekadar menjadi penonton di pinggir gelanggang. Kita harus ikut menjaga agar rumah yang sedang ditata ulang ini tidak roboh digergaji dari dalam.
Gus Dur telah mewariskan nilainya. Gus Yahya sedang membangun sistemnya. Kemenangan langkah ini adalah kemenangan masa depan NU.
Penulis: Sofian Junaidi Anom
*) Pengurus LTN PBNU dan Penggerak Komunitas Terong Gosong.
Dikutip dari Peradaban.ID
red: Al Aris
Menghidupkan Gus Dur, Membaca Ulang Langkah Gus Yahya Dalam Menata NU





