Suara Jurnalis – Manokwari – Pada Sabtu, 27/1 2024 telah datang dan meminta bantuan hukum kepada saya Advokat Yan Christian Warinussy, saudara Musa Mandacan dan Sebelum Mandacan serta keluarganya dari wilayah adat Meyah di Distrik Masni dan Distrik Sidey, Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat.
Hal ini dikatakan Warinussy kepada awak media melalui pesan WhatsApp. Senin (29/01/2024).
Menurutnya Musa Mandacan dalam kapasitasnya sebagai Ketua Dewan Adat 7 (Tujuh) Wilayah Suku Meyah di Distrik Masni dan Distrik Sidey, Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat datang untuk meminta bantuan hukum.
“Sebelum Mandacan sebagai salah satu pemilik wilayah dan Tanah Adat yang sedang dieksploitasi oleh kegiatan penambangan emas tanpa ijin (PETI) yang diduga keras “disusupi” oleh sejumlah oknum anggota TNI yang selalu mengatasnamakan Pangdam XVIII Kasuari serta beberapa oknum aparat Polri yang seringkali mengatasnamakan Kapolda Papua Barat, ” kata Warinussy.
Rupanya oknum-oknum anggota TNI tersebut sering mendatangi para mitra usaha dari para pemilih Ulayat adat di sekitar daerah aliran Sungai Wasirawi untuk meminta “uang keamanan” yang berkisar antara Rp.10 juta hingga Rp 30 juta per excavator perbulan dan juga memberi jaminan tidak akan ada operasi penyisiran.
Tapi ternyata kemudian ada operasi penyisiran, dan ada sejumlah pekerja penambangan yang diciduk aparat hingga mendekam di penjara sampai menjalani proses hukum hingga persidangan di Pengadilan Negeri Manokwari Kelas I B.
“Saya telah menerima permintaan bantuan hukum dari para Pemilik Hak Ulayat tersebut dan telah mengetahui nama oknum-oknum anggota TNI dan Polri yang sangat meresahkan tersebut, ” sebutnya.
Sebagai Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Papua akan membuat laporan secara berjenjang kepada Pangdam XVIII Kasuari dan Kapolda Papua Barat hingga kepada Panglima TNI dan Kapolri demi menertibkan oknum-oknum aparat TNI dan Polri di jajaran Kodam XVIII Kasuari dan Polda Papua Barat yang cenderung bersifat mafia dan meresahkan masyarakat pemilik hak Ulayat bersama para pekerja tambang serta pemilik usaha yang sebenarnya bersifat hubungan keperdataan yang bisa saling menguntungkan.
“Saya juga melihat lemahnya peran pemerintah daerah Kabupaten Manokwari dan Provinsi Papua Barat yang tidak sama sekali mampu memberi perlindungan hukum bagi rakyat pemilih hak Ulayat yang semata – mata hendak berusaha demi menghidupi keluarga dan anak cucunya melalui usaha pertambangan tersebut, ” ucapnya.
Seandainya pemerintah dapat membuat regulasi, maka aspek keamanan berusaha dapat dijamin. Sekaligus menghindari terjadinya pungutan-pungutan liar yang seringkali dilakukan oleh para oknum anggota TNI dan Polri tersebut di lokasi-lokasi penambangan tersebut dengan konotasi ilegal, tapi bisa “dimanfaatkan” untuk memperkaya diri, kelompok bahkan elite lembaga negara tertentu secara melawan hukum.
Kemudian kalau tidak diberikan lalu terjadi tindakan hukum untuk melakukan operasi penyisiran dan penangkapan yang sudah disampaikan alias “bocor” kepada pihak-pihak yang sudah beri “upeti”, sehingga yang tidak memberikan “upeti” kemudian ditangkap dan ditahan lalu diproses hingga ke pengadilan.
“Saya kira Panglima TNI dan Kapolri harus segera bertindak melalui Pangdam XVIII Kasuari dan Kapolda Papua Barat untuk menertibkan ulah para “Mafioso” di area penambangan ilegal sekitar Distrik Masni dan Distrik Sidey, Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat, ” imbuhnya.
“Juga Pemerintah Daerah Provinsi Papua Barat serta Pemerintah Daerah Kabupaten Manokwari mesti segera mendorong lahirnya regulasi sesuai amanat Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara agar diberikan Ijin Pertambangan Rakyat (IPR) demi ketertiban masyarakat dan usaha pertambangan yang saling menguntungkan di masa depan di Tanah Papua, ” pungkasnya.