Mencederai Amanat KUHAP, Warinussy: Penegakan Hukum Harus di Evaluasi

Suara Jurnalis | Manokwari – Akhir tahun 2023 tanggal 31 Desember 2023 baru saja kita lewati dan perhatian semua orang mengarah pada sukacita menyambut datangnya Tahun 2024 pada semua kalangan, termasuk para penegakan hukum di Indonesia.

Hal tersebut dikatakan Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) di tanah Papua, Yan Christian Warinussy kepada media melalui pesan rilis. Senin (01/01/2024).

Bacaan Lainnya

“Sebagai salah satu Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) saya mau mengingatkan bahwa pada tanggal 31 Desember 2023 tersebut juga merupakan hari lahirnya Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).KUHAP telah berusia 42 Tahun sejak diundangkan resmi pada Tahun 1981 di dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, ” kata Warinussy.

Dia juga menyebutkan, sebelum adanya KUHAP, sebagai negara bekas jajahan Belanda, telah diperlakukan aturan bernama Het Herziene Inlands Reglement atau HIR (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44). Rupanya selain karena telah berakhirnya penjajahan di muka bumi Indonesia. Tapi juga karena alasan penghormatan terhadap hak asasi manusia telah menjadi alasan dari para pembentuk undang undang (wet gever) untuk melahirkan KUHAP.  Sebagaimana “diuraikan di dalam angka Romawi I angka 2, alinea ketiga yang berbunyi : “Jelas bahwa penghayatan, pengamalan, dan pelaksanaan hak asasi manusia maupun hak serta kewajiban negara, setiap penyelenggara negara, setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik di pusat dan di daerah yang perlu terwujud pula dalam dan dengan adanya hukum acara pidana ini (KUHAP)”.

“Jadi menurut pandangan hukum saya, KUHAP yang lahir sebagai salah satu karya agung anak bangsa Indonesia ini memang diharapkan menjadi produk hukum penting dalam konteks praktek penegakan hukum di Indonesia selama 40 hingga 50 tahun ke depan, ” ujarnya.

Ditambahkannya, prinsip persamaan dalam perlakuan atas diri setiap orang di muka hukum tanpa pembedaan perlakuan (equality before the law) menjadi salah satu asas penting disini. Juga asas praduga tidak bersalah (presumption of inocent) yang memberi jaminan bahwa setiap orang yang disangka melakukan perbuatan pidana seharusnya dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

“Dalam praktek selama ini, sebagai salah satu pejabat penegak hukum saya melihat dari sisi pengabaian terhadap asas persamaan di muka hukum (equality before the law) dan asas praduga tidak bersalah (presumption of inocent) kerap masih terjadi bahkan cenderung diabaikan oleh aparat penegak hukum. Misalkan dalam perkara-perkara pidana, masih ada terduga pelaku tindak pidana yang tidak didampingi secara fisik oleh penasihat hukum yang ditunjuk sendiri oleh si terduga pelaku tersebut, ” ungkap Warinussy.

Menurutnya, kadangkala si penasihat hukum juga sesungguhnya belum dikenal oleh si pelaku tindak pidana tersebut. Tapi oleh oknum penyidik di lembaga kepolisian, penasihat hukum tersebut dihubungi untuk ikut menandatangani berita acara pemeriksaan (BAP) terduga pelaku/tersangka.

“Hal itu semata-mata demi memenuhi tuntutan amanat pasal 54, pasal 55 dan pasal 56 KUHAP. Pasal 54 KUHAP menggariskan bahwa : “guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang undang ini”. Dalam praktek hal ini telah saya temui selama hampir 30 tahun berpraktek sebagai Advokat di Tanah Papua, ” bebernya.

Dia juga menyampaikan, “bagian ini menurut saya penting dievaluasi dalam konteks rencana perampungan rancangan KUHAP Indonesia yang baru nanti. Demikian juga mengenai pemenuhan asas praduga tak bersalah, dalam kasus terakhir di kantor Polres Jayapura pada Jum’at, 30/12 ketika seorang warga sipil bernama Muhammad Iqbal alias Anugerah diperhadapkan oleh sejumlah orang yang menamakan dirinya paguyuban Masyarakat Nusantara atas tuduhan pidana. Namun dalam faktanya yang bersangkutan justru “diadili” di depan aparat penegak hukum (polisi). Bahkan Iqbal sempat dianiaya tanpa bisa dicegah sama sekali, ” tandasnya.

Seyogyanya jika benar Iqbal diduga melanggar hukum, maka langkah pertama yang semestinya dilakukan oleh pihak yang merasa dirugikan ialah membuat Laporan Polisi dan atau Pengaduan yang kelak dipergunakan sebagai dasar polisi mulai melakukan tindakan penegakan hukum, diawali penyelidikan hingga penyidikan.

“Ini saya nilai benar-benar sangat menciderai amanat KUHAP. Utamanya penghormatan terhadap asas praduga tidak bersalah, sehingga tidak bisa dibiarkan begitu saja oleh Polri, khususnya Kapolres Jayapura sebagai garda terdepan penegakan hukum di Tanah Papua. Dalam usianya yang ke-42 ini KUHAP belum banyak dipatuhi dalam praktek hukum di Tanah Papua dan Indonesia pada umumnya. Terutama dari sisi penghormatan terhadap asas persamaan di muka hukum (equality before the law) dan asas praduga tidak bersalah (presumption of inocent). Bagian ini penting direnungkan sebagai bahan penting dalam evaluasi penegakan hukum di tahun 2024 ini, ” pungkasnya.

(Refly).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *