LP3BH Manokwari Desak Gereja Papua Kritisi Negara Soal Pelanggaran HAM

Suara Jurnalis | Manokwari, Papua Barat — Menjelang peringatan 100 tahun atau satu abad Nubuatan Domine Isaac Semuel Kijne, yang dikenal sebagai tonggak peradaban orang Papua, Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy, S.H., menyampaikan refleksi tajam terhadap peran Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di Tanah Papua.

Ia mempertanyakan apakah negara melalui para pemimpinnya hingga Presiden Prabowo Subianto benar-benar telah menghadirkan peradaban yang dijanjikan bagi rakyat Papua, khususnya bagi orang asli Papua (OAP).

Bacaan Lainnya

Sebagai advokat dan pembela hak asasi manusia (Human Rights Defender) di Tanah Papua, Warinussy menilai justru sebaliknya, negara sejak awal integrasi Papua pada 1 Mei 1963 hingga kini telah menampilkan wajah kebiadaban terhadap orang Papua.

“Sejak integrasi dan pelaksanaan Act of Free Choice atau Pepera, rakyat Papua terus menjadi sasaran kekerasan negara melalui tindakan aparat TNI dan Polri,” ujarnya. Kamis, (23/10/2025).

Menurutnya, setiap suara yang mempertanyakan integrasi Papua kerap dilabeli makar, separatis, bahkan berujung pada kematian atau penghilangan.

Lebih lanjut, penerima penghargaan John Humphrey Freedom Award 2005 di Kanada ini menegaskan bahwa peringatan 100 tahun Nubuatan Kijne seharusnya menjadi momentum moral untuk mengkritisi negara dan menuntut pertanggungjawaban atas berbagai pelanggaran HAM di Tanah Papua. Ia menyerukan agar Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua, Gereja Katolik, dan denominasi gereja lainnya bersuara kritis dalam peringatan tersebut.

GKI, Keuskupan Jayapura, Merauke, Mimika, Agats-Asmat, dan Sorong-Manokwari harus berani meminta pertanggungjawaban negara atas berbagai pelanggaran HAM yang bersifat sistematis dan struktural,” tegas Warinussy. Menurutnya, gereja tidak boleh hanya hadir dalam euforia peringatan seratus tahun, tetapi juga memikul tanggung jawab moral untuk menegakkan keadilan dan kemanusiaan bagi orang asli Papua.

Dalam pandangannya, makna sejati dari Nubuatan Domine Kijne di Bukit Aitumieri, Miei Wondama, bukanlah sekadar perayaan, tetapi panggilan bagi bangsa Papua untuk bangkit memimpin dirinya sendiri. “Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua,” ucap Kijne pada masa lalu, yang kini menjadi pesan profetik bagi generasi Papua untuk menegakkan martabat dan hak-haknya sebagai manusia beradab.

Oleh karena itu, Warinussy mengingatkan bahwa peringatan satu abad nubuatan ini tidak boleh berhenti pada seremoni dan pesta rakyat semata. Ia menilai perlu ada perenungan mendalam: apakah bangsa Papua sudah sungguh beradab, dihormati sebagai manusia, dan diakui haknya sebagai subjek hukum di atas tanah leluhur mereka. “Peradaban tidak bisa dibangun di atas darah dan air mata,” ujarnya tegas.

Menutup pernyataannya, Warinussy menegaskan bahwa momentum 100 tahun Nubuatan Kijne harus menjadi cermin refleksi bagi negara dan rakyat Papua. “Inilah saatnya bangsa Papua diberi kesempatan yang adil dan beradab untuk berdialog dengan negara tentang masa depannya secara terhormat,” katanya. Ia berharap, dari peringatan ini lahir kesadaran baru untuk menegakkan keadilan, kemanusiaan, dan perdamaian sejati di Tanah Papua.

(Refly)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *