Indramayu, Suarajurnalis – Ada masa ketika dua tokoh besar Angkatan Darat Indonesia Jenderal A. H. Nasution dan Letnan Jenderal Ahmad Yani berdiri di dua sisi garis yang sama-sama mereka perjuangkan.
Keduanya adalah patriot, pejuang revolusi, dan benteng utama melawan ancaman komunisme. Namun, di tengah pusaran politik era Sukarno yang semakin panas, hubungan dua jenderal ini berubah dari saling percaya menjadi saling curiga. Hingga pada puncaknya, Yani hampir saja menangkap sosok yang pernah menjadi mentornya sendiri.
I. Dari Kepercayaan Menuju Perpecahan
Pada awalnya, hubungan Yani dan Nasution adalah relasi antara murid dan guru. Nasution, saat menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), mengusulkan Ahmad Yani sang deputi operasi sebagai penggantinya. Bagi Nasution, Yani adalah perwira ideal: disiplin, tegas, dan anti-komunis. Ia berharap Yani bisa menjaga independensi politik TNI Angkatan Darat, sekaligus menjadi penyeimbang pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang makin kuat di bawah dukungan Presiden Sukarno.
Namun, di mata Sukarno, Yani bukan sekadar tentara. Ia adalah sosok muda, cerdas, dan mudah bergaul tipe pemimpin yang bisa “menyatu” dengan gaya kepemimpinan sang presiden. Yani pun akhirnya menjadi kesayangan Sukarno, posisi yang justru menjauhkan dirinya dari Nasution.
II. Dilema di Tengah Gairah Politik Sukarno
Dalam tubuh Angkatan Darat, Yani mulai dikenal lebih sering “masuk Istana” daripada berada di markas. Ia dipercaya Sukarno tidak hanya sebagai pemimpin militer, tapi juga sebagai penghubung politik untuk menahan laju pengaruh kelompok yang menentang sang presiden termasuk faksi Nasution.
Di sisi lain, Nasution yang sudah tidak lagi menjabat KSAD tetap aktif di kancah politik pertahanan. Ia bahkan mengorganisir operasi anti-Malaysia di Kalimantan tanpa izin resmi. Tindakan ini dianggap melampaui wewenang dan membuat Yani murka. Keduanya sempat berhadapan dalam konflik tajam, meski hubungan itu kembali mencair setelah Nasution pulang dari Filipina.
Namun, bara belum padam. Saat lembaga pemberantasan korupsi bentukan Nasution (Paran) mulai masuk ke tubuh Angkatan Darat, Yani merasa terusik. Sukarno turun tangan membubarkan Paran sebuah pukulan telak bagi Nasution dan menggantinya dengan Kotrar yang lebih pro-pemerintah.
III. Dua Kubu dalam Satu Seragam
Menjelang tahun 1965, Angkatan Darat terbelah. Ada faksi Yani, yang dekat dengan Sukarno dan Istana; dan faksi Na-To (Nasution–Soeharto), yang lebih berhati-hati terhadap politik presiden dan PKI.
Perbedaan sikap politik ini berubah menjadi jurang pemisah. Ketika Yani menarik pasukan penjaga rumah Nasution, Pangdam Siliwangi, Ibrahim Adjie seorang loyalis. Segera mengirimkan pasukan untuk menjaga kediaman mantan atasannya. Situasi di Jakarta menjadi tegang, seolah hanya menunggu percikan kecil untuk menyulut api besar.
IV. Perintah yang Nyaris Mengubah Sejarah
Pada awal tahun 1965, Letnan Jenderal Ahmad Yani mengambil langkah paling berani sekaligus paling berisiko. Ia memerintahkan Mayor Jenderal Suprapto, salah satu deputinya (yang kelak menjadi Pahlawan Revolusi), untuk menangkap Jenderal A. H. Nasution.
Langkah ini adalah bentuk kesetiaan Yani kepada Sukarno, sebuah upaya menunjukkan bahwa ia tidak lagi berpihak pada kubu militer yang kerap mengkritik presiden. Namun, perintah tersebut bocor ke kubu Nasution.
Brigadir Jenderal Abdul Kadir Besar dan pasukan dari Divisi Siliwangi bersiaga penuh di rumah Nasution. Mereka siap bertempur jika penangkapan benar-benar dilakukan.
Namun, sebelum peluru pertama dilepaskan, sejumlah jenderal senior seperti Basuki Rahmat, R. Soedirman, Sarbini, dan Soeharto turun tangan. Mereka menentang keras langkah itu, dan akhirnya Yani membatalkan perintahnya. Pertumpahan darah antara dua faksi besar dalam Angkatan Darat pun berhasil dihindari.
V. Akhir dari Sebuah Loyalitas
Ironisnya, hanya beberapa bulan setelah ketegangan itu, sejarah mengambil jalannya sendiri. Pada malam 30 September 1965, Ahmad Yani menjadi salah satu korban utama dalam peristiwa Gerakan 30 September (G30S). Sementara Nasution selamat dari upaya penculikan, meski putrinya gugur dalam tragedi itu.
Dua jenderal yang pernah hampir saling berhadapan akhirnya dipisahkan bukan oleh peluru, melainkan oleh takdir.
Sebuah kisah tentang kesetiaan, ambisi, dan politik yang membelah para patriot bangsa di mana persahabatan dan pengkhianatan bisa tumbuh dalam satu barisan seragam hijau.
Sumber : Historia.com
red: Al Aris
Ketika Yani Akan Menangkap Nasution





