Ketika Pak AR Berhasil “Memuhammadiyahkan” Warga NU Secara Massal

Indramayu, Suarajurnalis – Di Yogyakarta, 14 Februari 1916, lahirlah seorang lelaki yang kelak dikenal sebagai maestro dakwah yang halus tapi nendang: Abdul Rozak (A.R.) Fachruddin. Putra pasangan K.H. Fachruddin dan Maimunah binti K.H. Idris Pakualaman ini tumbuh di lingkungan santri yang tertib, rapi, dan tentu saja dekat dengan Muhammadiyah.

Beliau tidak hanya aktif di Muhammadiyah, beliau menghabiskan hidupnya di sana. Dari ketua ranting sampai pucuk pimpinan, dari Pemuda Muhammadiyah hingga akhirnya menjadi Ketua PP Muhammadiyah terlama dalam sejarah (1968–1990). Kalau jabatan itu punya sabuk, mungkin sabuknya sudah lusuh saking lamanya dipakai.

Namun, yang paling membuat nama Pak AR hidup dalam ingatan umat bukan hanya struktur jabatan panjang itu. Melainkan gaya dakwahnya yang khas: lembut, cerdas, jenaka, dan tidak pernah memaksa. Kalau orang lain ceramah pakai dalil untuk “menghantam”, Pak AR pakai logika dan humor untuk “merangkul”.

Beliau punya perumpamaan terkenal: “Berdakwah itu seperti menulis. Kalau medianya kertas, ya pakai pulpen. Kalau tembok, ya pakai cat. Jangan dipaksa sama.”

Kira-kira itu gambaran kenapa dakwah beliau selalu “kena”, karena tidak asal menembak, tapi menyesuaikan peluru dengan targetnya.

Tarawih di Tebuireng: NU, Muhammadiyah, dan Sebuah Malam yang Tidak Direncanakan Siapa pun

Suatu Ramadan di Jawa Timur, Pak AR sedang menjalani agenda safari dakwah. Dalam rangkaian acara itu, beliau mendapat undangan khusus dari Gus Dur untuk datang ke Pesantren Tebuireng, Jombang.

Seperti biasa, Gus Dur menyambut tamunya tidak hanya dengan kopi dan canda, tapi juga dengan jebakan halus khas Gus Dur. Menjelang tarawih, Gus Dur mendekati Pak AR dan berkata: “Pak AR, nanti njenengan yang jadi imam, nggih.”

Hening sekejap. Tarawih di Tebuireng itu ibarat pertandingan bola: penonton banyak, stadion penuh, dan standar permainannya sudah baku 23 rakaat, titik.
Tapi Pak AR, dengan wajah teduh andalannya, mengangguk santai. Seolah beliau mau memimpin tarawih di mushala kecil kampungnya sendiri.

Babak Pertama: 8 Rakaat yang Mengguncang Tradisi

Sebelum memulai, Pak AR menghadap jamaah dan bertanya dengan sopan:

“Bapak ibu sekalian, biasanya tarawih di sini 11 atau 23 rakaat, ya?” Jamaah menjawab kompak, panjang, dan penuh semangat: “DUA PULUH TIGAAAAA…”

Pak AR tersenyum, mengangguk, dan berkata: “Baik. Semoga saya juga mampu mengikuti kebiasaan di sini.”

Tarawih pun dimulai.
Biasanya, meski 20 rakaat, jamaah Tebuireng bisa selesai sekitar pukul 20.00. Rakaatnya cepat tapi tertib. Namun ketika malam itu Pak AR memimpin, ritmenya berubah total. Bacaan panjang, tartil, penuh thuma’ninah, nyaris seperti kelas master untuk gerakan pelan.

Hasilnya? Baru 8 rakaat, jam sudah menunjukkan 20.30. Jamaaah mulai saling lirak-liruk. Sebagian mungkin baru sadar bahwa malam itu mereka ikut “tarawih rasa Muhammadiyah”.

Babak Kedua: Detik-detik Warga NU “Jadi Muhammadiyah”
Pak AR menengok ke jamaah dan bertanya dengan nada lembut yang entah kenapa justru terasa seperti voting final acara talent show: “Bapak ibu sekalian… mengingat waktu… kita lanjut sampai 20 rakaat, atau kita langsung witir saja?”

Seketika, tanpa jeda, seluruh jamaah menjawab dengan kompak, bulat, mantap, penuh kelegaan: “WITIIIIIRRRRR!”

Gelak tawa pun pecah. Bahkan beberapa kiai tersenyum sambil menggeleng.
Tarawih malam itu ditutup dengan khusyuk dan bahagia, meski formatnya sedikit “tergeser”.

Epilog: Gus Dur dan Komentarnya yang Abadi.
Setelah salat usai, Gus Dur berdiri di depan jamaah sambil menahan senyum nakal khas beliau. Dengan suara pelan tapi jelas, beliau berkomentar: “Baru kali ini ada sejarahnya warga NU, di kandang NU, dimuhammadiyahkan secara massal oleh seorang Muhammadiyah saja…”

Masjid meledak oleh tawa. Pak AR ikut tertawa, Gus Dur tertawa, bahkan para santri ikut tertawa meski mungkin belum paham betul kenapa itu lucu.

Malam itu menjadi bukti bahwa humor bisa lebih ampuh daripada perdebatan, dan dakwah bisa merangkul tanpa harus membenturkan. Bahwa Muhammadiyah dan NU, dengan segala perbedaan gaya, bisa duduk bersama, salat bersama, dan tertawa bersama.

Dan bahwa terkadang, untuk membuat warga NU “beralih” ke gaya Muhammadiyah, cukup satu orang saja, asal orang itu bernama A.R. Fachruddin.

penulis: Setiya Jogja
red: Al Aris

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *