Indramayu, Suarajurnalis – Malam 30 September 1965 menjadi salah satu malam paling kelam dalam sejarah Indonesia. Namun, di balik kabut tebal tragedi G30S, muncul sosok penting yang berani bersuara demi membela kebenaran: Maulwi Saelan, pengawal pribadi Presiden Sukarno. Melalui kesaksiannya yang tajam dan berani, ia membantah tuduhan bahwa Sang Proklamator mengetahui dan merestui aksi penculikan para jenderal.
Malam itu, Sukarno tengah berpidato di Istora Senayan dalam acara Musyawarah Nasional Teknik (Munastek). Komandannya, Brigjen Sabur, sedang berada di Bandung, sehingga tanggung jawab keamanan presiden diemban oleh Maulwi. Ia bahkan sempat menegur Letkol Untung yang kelak menjadi tokoh utama G30S karena lalai menjaga salah satu pintu masuk Istora.
Setelah acara selesai, Maulwi bersama Kolonel Bambang Widjanarko mengantar presiden kembali ke Istana sebelum akhirnya pulang ke rumahnya di Kebayoran Baru. Sekitar pukul 05.10 pagi, telepon berdering. Ajudan presiden, Kombes Sumirat, mengabarkan adanya penembakan di rumah Waperdam Leimena dan Jenderal Nasution. Tak lama, berita lain menyusul: rumah Brigjen D.I. Panjaitan juga ditembaki, dan pasukan tak dikenal mulai berkeliaran di sekitar Istana Merdeka. Situasi genting membuat Maulwi segera mencari keberadaan Presiden Sukarno.
Awalnya, ia dan Kapten Suwarno menduga presiden berada di rumah Haryati di Grogol atau di Wisma Yaso. Namun, Sukarno tak ditemukan di sana. Melalui radio komunikasi Lorentz dari sebuah jip DKP, Maulwi akhirnya mengetahui bahwa iring-iringan presiden sedang menuju Istana Merdeka. Karena situasi di sekitar Monas tidak aman, rombongan diarahkan ke rumah Haryati di Grogol, tempat Maulwi menunggu dengan cemas.
Saat Sukarno tiba pukul 07.00, Maulwi segera melaporkan peristiwa yang terjadi. Sang Presiden tampak terguncang dan berkata lirih, “Wah, ik ben overrompeld (saya terguncang).” Ia tampak gelisah dan memerintahkan agar mereka tidak berlama-lama di sana. Bersama para pengawal, Maulwi akhirnya membawa Sukarno menuju Lanud Halim Perdanakusuma, di mana Laksamana Omar Dhani telah menunggu. Di sana, mereka memantau perkembangan situasi yang semakin mencekam.
Namun, kesaksian Maulwi kemudian berbenturan dengan pernyataan Bambang Widjanarko. Dalam bukunya Sewindu Dekat Bung Karno, Bambang menuduh bahwa Sukarno telah menerima surat dari Letkol Untung berisi pemberitahuan akan dimulainya “Gerakan 30 September.” Ia juga mengklaim bahwa Sukarno sempat membaca surat itu di teras Istora.
Tuduhan itu langsung dibantah tegas oleh Maulwi Saelan. Ia menyatakan, Sukarno tidak pernah menerima surat apapun malam itu. Ia juga memastikan bahwa presiden tak pernah meninggalkan tempat duduk, apalagi pergi ke toilet untuk membaca surat seperti yang dikatakan Bambang. Semua yang terjadi di Istora, menurut Maulwi, dapat ia saksikan dengan jelas karena ia berada di sisi presiden sepanjang waktu.
Bambang bahkan menafsirkan kutipan dialog Kresna dan Arjuna dalam pidato Sukarno sebagai “kode rahasia” kepada Letkol Untung. Padahal, menurut Sukarno sendiri, kutipan itu hanyalah bentuk motivasi bagi para insinyur agar bekerja dengan tanggung jawab bagi bangsa.
Peneliti James Luhulima dalam bukunya Menyingkap Dua Hari Tergelap di Tahun 1965 menyatakan bahwa kesaksian Bambang penuh rekayasa, dibuat untuk menyelamatkan dirinya sendiri dan menjadikan Sukarno sebagai kambing hitam. Kesaksiannya bahkan ia ubah-ubah saat pertama kali disampaikan kepada Tim Pemeriksa Pusat (Teperpu) tahun 1970, ia menuduh Sukarno, namun dalam memoarnya tahun 1988, ia sama sekali tidak menyinggung tuduhan itu.
Tragisnya, Maulwi, Mangil, dan Brigjen Sabur semua pengawal setia Sukarno ditangkap tanpa pengadilan setelah presiden diturunkan dari jabatannya. Resimen Tjakrabirawa dibubarkan oleh Soeharto pada 1966. Maulwi sempat mencoba menghubungi Bambang untuk meminta klarifikasi, namun hingga Bambang meninggal dunia, pertemuan itu tak pernah terjadi.
Kesaksian Maulwi Saelan adalah potongan penting dari mozaik sejarah yang sering dilupakan. Ia berdiri tegak di tengah arus fitnah, berusaha menjaga nama baik Bung Karno yang begitu dicintainya. Melalui suaranya, kita diajak untuk kembali melihat sejarah dengan jernih bahwa tidak semua yang tertulis di buku sejarah adalah kebenaran yang sejati.
Sumber : Historia.id, FB om phol
red: Al Aris
Kesaksian Maulwi Saelan: Membela Sukarno dari Fitnah G30S





