Indramayu, Suarajurnalis – Banyak hal terobosan kebijakan yang dilakukan oleh Kang Dedi Mulyadi (KDM), Gubernur Jawa Barat untuk mewujudkan Jawa Barat Istimewa. Tetapi banyak pula kebijakannya yang mendapat ‘perlawanan’ dari Masyarakat Jawa Barat, bahkan beberapa kepala daerah setingkat bupati/walikota.
Kebijakan yang banyak mendapat ‘sorotan’ dari publik untuk tidak mengatakan ‘perlawanan’ misalnya barakisasi bagi siswa ‘nakal’, vasektomi yang dikorelasikan dengan bansos dan beasiswa, larangan study tour dan penonaktifan kepala sekolah, Sekolah masuk pukul 6.30 dan lainnya.
Gubernur Konten?
Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat, baru-baru ini mendapat julukan “Gubernur Konten” dari Gubernur Kalimantan Timur, Rudy Mas’ud, pada sebuah rapat di DPR.
“Terima kasih banyak Bu Wamen dan seluruh gubernur yang hadir hari ini. Kang Dedi, gubernur konten. Mantap nih Kang Dedi. Dan seluruh pejabat eselon I Kemendagri yang hadir, bupati, wali kota via Zoom,” kata Rudy Mas’ud dalam rapat kerja bersama Komisi II DPR RI dan Kementerian Dalam Negeri di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Julukan Gubernur Konten muncul karena Dedi Mulyadi dikenal aktif membagikan berbagai aktivitasnya di media sosial, termasuk di YouTube, Instagram, hingga TikTok.
Bahkan Ono Surono, Wakil Ketua DPRD Provinsi Jawa Barat sekaligus juga Ketua DPD PDI Perjuangan Provinsi Jawa Barat dalam satu kesempatan pidatonya menyatakan bahwa KDM, seperti juga konten creator lainnya hanya melakukan bagi-bagi duit, nangis dan marah-marah. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan followers yang bisa dilihat di kanal youtube dan media sosial lainnya. Ono Surono dan beberapa anggota Parlemen di Jawa Barat juga menilai KDM cenderung one man show—raja yang ingin semua egonya bisa diwujudkan—dalam implementasi kebijakannya.
Walaupun juga KDM ketika disebut sebagai ‘Gubernur Konten’ menanggapinya dengan Santai bahkan mengatakan “Alhamdulillah dari konten yang saya miliki itu bisa menurunkan belanja rutin iklan. Biasanya iklan di Pemprov Jabar kerja sama medianya Rp 50 miliar. Sekarang cukup Rp 3 miliar tetapi viral terus”.
Kang Dedi Mulyadi juga menegaskan bahwa tujuannya membuat konten bukan sekadar untuk popularitas, tetapi untuk transparansi dan menyebarkan informasi mengenai kebijakan serta program pemerintah kepada masyarakat.
Kita tunggu, perjalanan KDM sebagai Gubernur masih panjang dan banyak waktu serta waktu pula yang akan membuktikan apakah beberapa kebijakannya atas dasar kepentingan konten atau betul-betul berangkat dari ‘nafas’ rakyat—terutama mereka yang terpinggirkan—yang selama ini ‘dimiskinkan’ secara structural.
Kepatuhan ‘Semu’ Kepada Sang Gubernur
Beberapa kebijakan yang ditetapkan gubernur Jawa Barat menimbulkan reaksi ‘perlawanan’ dari publik, bahkan dari beberapa kepala daerah setingkat bupati/walikota di jawa Barat. Ini juga menggambarkan bahwa ‘symphoni lagu’ mulai tidak seirama dengan sang dirigent sebagai bentuk kepatuhan ‘semu’ dengan berbagai alasannya masing-masing.
Beberapa kebijakan yang mendapat ‘perlawanan’ itu antara lain; Pertama Study Tour.
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengeluarkan larangan study tour untuk sekolah di wilayah Jawa Barat. Larangan itu dikeluarkan lewat Surat Edaran Nomor 43/PK.03.04/Kesra tentang 9 Langkah Pembangunan Pendidikan Jawa Barat Menuju Terwujudnya Gapura Panca Waluya, Gubernur Dedi secara tegas melarang sekolah mengadakan kegiatan study tour.
Larangan ini mendapat respon yang berbeda dari Wali Kota Bandung. “Bandung Kota Terbuka” kata Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan. Farhan juga beralasan bahwa kegiatan study tour diperbolehkan selama tidak berkaitan dengan penilaian akademik siswa.
Wali Kota Cirebon menolak kebijakan Gubernur dengan alasan study tour bisa menjadi pengalaman berharga bagi anak. Wali kota juga tetap mengizinkan sekolah-sekolah di wilayahnya untuk menggelar study tour, termasuk ke luar daerah, selama dilengkapi aturan yang jelas. “Kalau study tour, asalkan dengan rambu-rambu yang kuat, sebetulnya tidak menjadi persoalan buat saya,” ucap Edo di Balai Kota Cirebon. Edo menilai study tour bisa menjadi ajang pembelajaran di luar kelas yang tak kalah penting dibanding pelajaran formal.
Bupati Bandung, Dadang Supriatna, merespons larangan dari Gubernur Dedi Mulyadi dengan nada lebih hati-hati. Ia menyatakan bahwa selama kegiatan study tour terarah dan bermanfaat, seharusnya tidak menjadi masalah. “Tapi yang jelas disesuaikan dengan kebutuhan sekolah dan selama orangtuanya sepakat dan ada manfaat dalam konteks pengalaman karena study tour itu bukan hanya kita hiburan, tetapi ada manfaat apa perbedaan di antara daerah terutama dalam hal edukasi Sejarah.
Ada Juga yang membatasi di wilayah Jabar saja. Sebagian kepala daerah memang mendukung larangan Gubernur Dedi, namun tetap memberi ruang bagi pelaksanaan study tour terbatas di dalam Provinsi Jawa Barat. Misalnya ini dilakukan oleh Bupati Karawang. Demikian juga beberapa wilayah lain yang masih memperbolehkan di dalam Provinsi misalnya Sumedang dan Depok.
Kedua, Masuk Sekolah pukul 6,30 dan larangan bawa motor ke sekolah. Berdasarkan pengamatan, kebijakan masuk sekolah pukul 6.30 WIB juga masih belum efektif. Apakah ini karena persoalan adaptasi atau kebijakan yang tidak berdasarkan kajian yang mendalam? Karena pada akhirnya yang menjadi ‘korban’ tetap peserta didik, telat dihukum dan ‘kelonggaran’ waktu mereka yang tidak ‘dihikum’ juga pada akhirnya pembelajaran tetap efektifnya mulai pukul 7.00 wib., karena 6.45 masih banyak anak yang berjalan menuju sekolah.
Kebijakan masuk sekolah pukul 6.30 juga disertai dengan kebijakan untuk jalan kaki bagi anak menuju sekolah. Kebijakan ini juga menunjukan ‘Ketaatan semu’, karena banyak peserta didik yang dari wilayah ‘dalam’ tidak di jalur utama jalan raya tetap membawa motor. Menjelang sampai sekolah ‘dititipkan’ dan ini kemudian menambah cost pengeluaran di luar ‘uang saku’ yang dikeluarkan orang tua untuk anaknya.
Beberapa daerah di Jawa Barat juga banyak yang tidak mentaati kebijakan gubernur ini, dan memilih kondisional.
Ketiga, Barakisasi bagi anak ‘nakal’. Untuk program ini anggaran yang disiapkan oleh KDM (Keluarga Darurat Milenial) adalah Rp 6 Miliar.
Dana ini dialokasikan untuk berbagai keperluan program, termasuk seragam, makan, honor pelatih, dan kebutuhan lainnya. Pengelolaan anggaran akan dilakukan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, yang merupakan inisiatif dari Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi.
Program ini bertujuan untuk membentuk karakter dan mengembalikan jati diri remaja bermasalah melalui pendekatan berbasis barak militer. Kegiatan di barak militer meliputi olahraga, kesenian, pengembangan minat dan bakat, serta pembiasaan pola hidup sehat. Diharapkan, program ini dapat memberikan dampak positif bagi para peserta, seperti meningkatkan kedisiplinan, tanggung jawab, dan kemampuan bekerja sama.
Program juga banyak menimbulkan kritik, karena anggaran yang sedemikian besar tapi keberhasilannya masih sulit untuk diukur. Apalagi system barak yang berbau militeristik sebagai sebuah pendekatan masih debatable terutama dari kalangan psikolog.
*) penulis adalah Rektor Institut Studi Islam Al-amin Indramayu dan Dosen Pascasarjana UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon
red: Al Aris
Kepatuhan ‘Semu’ Beberapa Kepala Daerah di Jawa Barat terhadap Kebijakan Gubernur, Oleh: Masduki Duryat *)
