Indramayu, Suarajurnalis – Orang baik sering kali dipuja secara moral, tetapi kenyataan pahitnya mereka justru lebih mudah dimanfaatkan, ditindas, atau dijadikan kambing hitam. Stereotip bahwa kebaikan akan selalu berbuah manis ternyata tidak sejalan dengan realitas psikologi manusia. Justru dalam banyak kasus, kebaikan tanpa batas membuka jalan bagi orang lain untuk mengeksploitasi.
Fakta menariknya, dalam The Gift of Fear karya Gavin de Becker dijelaskan bahwa orang yang terlalu berusaha terlihat baik sering mengabaikan intuisi bahaya. Demi menjaga citra positif, mereka menekan perasaan curiga dan akhirnya jatuh ke dalam situasi berisiko. Fenomena ini terlihat jelas dalam kehidupan sehari-hari, misalnya ketika seseorang tetap membantu meski sebenarnya tidak sanggup, atau ketika terlalu percaya pada orang asing karena takut dianggap kasar.
Mari kita bahas tujuh alasan mengapa orang baik justru sering menjadi korban dalam hidup.
1. Mereka sulit mengatakan tidak
William Ury dalam The Power of a Positive No menegaskan bahwa banyak orang gagal menjaga batas diri karena takut melukai perasaan orang lain. Akibatnya, mereka lebih memilih mengorbankan waktu, tenaga, bahkan harga diri sendiri demi terlihat baik.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa melihatnya pada teman yang selalu setuju meminjamkan uang meski tahu tidak akan dikembalikan. Atau rekan kerja yang menerima beban tambahan karena tidak ingin dianggap tidak kooperatif. Kebaikan berubah menjadi jebakan ketika “tidak” terasa mustahil diucapkan.
Ironinya, orang yang sulit menolak justru sering kehilangan rasa hormat dari orang sekitarnya. Saat mereka akhirnya menolak, orang lain malah kaget dan marah. Kunci dari masalah ini bukan berhenti jadi baik, melainkan belajar bahwa penolakan bisa menjadi bentuk kebaikan juga, terutama pada diri sendiri.
2. Mereka cenderung percaya orang lain dengan mudah
Maria Konnikova dalam The Confidence Game menjelaskan bagaimana penipu sukses justru karena ada orang yang ingin percaya. Orang baik, dengan niat tulusnya, sering kali menjadi target karena mereka tidak terbiasa mencurigai.
Contohnya, seseorang yang dengan polos membagikan informasi pribadi kepada orang yang baru dikenal, atau korban penipuan online yang sebenarnya tahu ada tanda bahaya, tetapi memilih percaya karena tidak ingin bersikap sinis. Keinginan untuk melihat dunia sebagai tempat baik menjadikan mereka lebih mudah dimanfaatkan.
Rasa percaya memang penting, tetapi ketika tidak disertai kesadaran kritis, kebaikan berubah jadi pintu masuk manipulasi. Di titik ini, konten reflektif yang dibahas di logikafilsuf bisa membantu melatih kepekaan agar tidak mudah ditipu oleh wajah ramah.
3. Mereka menghindari konflik meski dirugikan
Harriet Lerner dalam The Dance of Anger menyoroti bahwa banyak orang, terutama yang ingin selalu terlihat baik, menghindari konflik dengan segala cara. Mereka memilih diam, padahal sebenarnya sedang dirugikan.
Misalnya, seorang pasangan yang terus-menerus mengalah demi menjaga hubungan, meski dirinya tidak bahagia. Atau pegawai yang menerima perlakuan tidak adil dari atasan karena takut dianggap pembuat masalah. Diam terasa aman, tetapi diam juga berarti memperkuat ketidakadilan.
Menghindari konflik memang tampak bijak, namun sering kali itu hanyalah cara menunda masalah. Pada akhirnya, orang baik justru menderita dalam diam, sementara pelaku semakin nyaman memanfaatkan kelemahan mereka.
4. Mereka sering merasa bersalah ketika menolak
Brené Brown dalam The Gifts of Imperfection menjelaskan bahwa rasa bersalah sering menghantui orang yang peduli pada orang lain. Mereka merasa menolak berarti egois, padahal sesungguhnya itu bentuk menjaga keseimbangan.
Dalam kehidupan nyata, banyak orang baik berkata “iya” sambil menekan batin sendiri. Mereka menolak peluang istirahat, menunda kebutuhan pribadi, bahkan menanggung beban orang lain hanya karena takut dicap tidak peduli. Guilt trip menjadi senjata paling ampuh untuk menundukkan mereka.
Ketika rasa bersalah dibiarkan, kebaikan berubah jadi beban yang melelahkan. Mengakui bahwa diri sendiri juga berhak berkata tidak adalah langkah penting agar kebaikan tetap sehat dan tidak menyiksa.
5. Mereka menaruh harga diri pada penilaian orang lain
Mark Leary dalam The Curse of the Self menekankan bahwa orang yang terlalu peduli pada opini luar akan kehilangan arah hidupnya. Orang baik sering kali terjebak di sini, menilai diri dari seberapa banyak mereka disukai.
Seorang murid bisa rela mencontek hanya karena tidak ingin dijauhi teman-temannya. Atau karyawan yang selalu setuju dengan atasan meski tahu keputusan itu salah, hanya demi terlihat setia. Identitas mereka melebur dengan ekspektasi orang lain.
Harga diri yang ditambatkan pada penilaian orang lain akan rapuh. Begitu tidak mendapat apresiasi, orang baik merasa kosong. Hal ini yang membuat mereka sangat mudah dipermainkan oleh pujian dan kritik.
6. Mereka cenderung menyelamatkan orang lain meski mengorbankan diri
Robin Norwood dalam Women Who Love Too Much menulis tentang fenomena orang yang menjadikan kebaikan sebagai bentuk penyelamatan diri. Mereka mencari makna hidup dengan memperbaiki orang lain, sering kali hingga melupakan batas.
Contoh nyata bisa terlihat pada seseorang yang terus bertahan dalam hubungan toxic karena merasa bisa mengubah pasangannya. Atau sahabat yang selalu menjadi “tempat sampah” curhatan tanpa pernah mendapat dukungan balik. Niat baik berubah menjadi jebakan penyelamatan yang tidak sehat.
Fakta ini menegaskan bahwa membantu orang lain memang mulia, tetapi jika terus-menerus mengorbankan diri, kebaikan berubah menjadi bentuk penyiksaan emosional.
7. Mereka menganggap semua orang punya niat baik
Roy Baumeister dalam Evil: Inside Human Violence and Cruelty membongkar kenyataan pahit bahwa tidak semua orang digerakkan oleh niat baik. Ada orang yang memang menikmati menyakiti orang lain atau setidaknya merasa diuntungkan dari penderitaan orang lain.
Orang baik sering jadi korban karena mereka menganggap semua orang punya hati yang sama. Akibatnya, mereka sulit mendeteksi tanda bahaya, bahkan rela memberi kesempatan berkali-kali pada orang yang jelas-jelas merugikan.
Menyadari bahwa kejahatan bisa muncul dari manusia biasa membuat kita lebih realistis. Dengan begitu, kebaikan tidak lagi naif, melainkan berdiri sejajar dengan kewaspadaan.
Orang baik sering kali jadi korban bukan karena bodoh, tetapi karena kebaikan mereka tidak diimbangi dengan batas dan kesadaran. Kebaikan tetap perlu, tetapi tanpa kewaspadaan, ia hanya akan jadi umpan bagi mereka yang oportunis. Dari tujuh alasan ini, mana yang paling sering kamu lihat dalam kehidupan sehari-hari? Tulis di komentar dan bagikan agar lebih banyak orang bisa belajar menjaga kebaikan tanpa jatuh jadi korban.
sumber: logika filsuf
red: Al Aris
Kenapa Orang Baik Selalu Jadi Korban Perasaan
