Suara Jurnalis | Manokwari, Papua Barat – Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy, SH kembali angkat bicara terkait dugaan tindak pidana korupsi pembangunan Jalan Kaimana-Wasior Tahun Anggaran 2021. Proyek kelas kakap tersebut dilaporkan menghabiskan anggaran hingga Rp149 miliar, namun hingga kini penanganannya oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua Barat belum terlihat jelas.
Menurut Warinussy, proyek Jalan Kaimana-Wasior sangat penting bagi masyarakat di Papua Barat, khususnya warga Kabupaten Teluk Wondama dan Kabupaten Kaimana. Jalan tersebut menjadi akses vital yang diharapkan dapat membuka isolasi daerah, memperlancar mobilitas masyarakat, dan meningkatkan perekonomian lokal.
Namun, di balik kebutuhan mendesak tersebut, proyek besar ini justru menyimpan banyak pertanyaan. Dua perusahaan kontraktor yang menggarap proyek, yakni PT Venus Inari dan PT Ana Cenderawasih Permai, diduga kuat terkait dengan seorang pengusaha berinisial WH. Nama ini belakangan disebut-sebut sebagai figur berpengaruh di Papua Barat.
“Anehnya, perkara yang diduga menguras uang negara sangat besar justru belum disentuh serius oleh aparat penegak hukum di Papua Barat. Padahal indikasi kerugian negara sangat nyata,” ujar Warinussy kepada wartawan di Manokwari, Sabtu (6/9).
Sebagai advokat, ia mengingatkan bahwa dirinya juga adalah bagian dari penegak hukum sesuai Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Karena itu, ia menilai aneh bila Kajati Papua Barat dan jajarannya masih terlihat enggan menindaklanjuti kasus ini.
Warinussy menyebutkan bahwa Tim Jaksa Penyelidik Kejati Papua Barat sebenarnya sudah pernah turun melakukan langkah penyelidikan. Namun, sampai saat ini, publik tidak pernah mendengar perkembangan lebih lanjut. Kondisi tersebut menimbulkan tanda tanya besar.
“Apakah karena oknum WH adalah pengusaha besar yang sedang memangku jabatan penting dalam organisasi pengusaha di Papua Barat? Jika benar, maka ini mengindikasikan adanya konflik kepentingan dalam proses penegakan hukum,” kritiknya.
Menurutnya, keberpihakan aparat penegak hukum kepada kepentingan pengusaha akan sangat merugikan masyarakat Papua.
“Rakyat Papua asli yang punya tanah air di Papua Barat justru semakin sengsara akibat ulah para pengusaha yang tidak bertanggung jawab,” tegas Warinussy.
Ia menambahkan, dugaan pembiaran dalam kasus ini seolah menunjukkan bahwa Kejati Papua Barat memilih diam.
“Seakan-akan ada kekuatan yang menahan agar perkara ini tidak ditindaklanjuti,” ujarnya.
Sebagai seorang pembela hak asasi manusia (human rights defender/HRD) di Tanah Papua, Warinussy merasa wajib bersuara. Ia menilai penegakan hukum tidak boleh pandang bulu, terlebih dalam kasus besar yang melibatkan dana ratusan miliar rupiah dari uang rakyat.
“Kenapa aparat penegak hukum seolah sengaja mengabaikan kasus Jalan Kaimana-Wasior? Bukankah fungsi utama kejaksaan adalah menegakkan hukum tanpa diskriminasi?” tanyanya.
Ia menegaskan, sikap diam hanya akan memperpanjang penderitaan rakyat di Teluk Wondama dan Kaimana.
“Masyarakat sangat berharap jalan tersebut benar-benar terwujud sesuai kualitas dan anggaran yang ada, bukan menjadi ladang bancakan oknum pengusaha,” kata Warinussy.
Karena itu, ia mendesak Kejati Papua Barat untuk segera mengambil langkah konkret. Menurutnya, sudah saatnya aparat menunjukkan keberanian dan profesionalitas dalam menuntaskan dugaan korupsi proyek tersebut.
“APH di Kejati Papua Barat tidak boleh ragu dan tidak boleh takut. Proses hukum harus segera ditindaklanjuti agar ada kepastian dan keadilan bagi rakyat Papua,” tegasnya.
Warinussy menutup dengan pesan keras bahwa keadilan tidak boleh dikalahkan oleh kepentingan ekonomi segelintir orang. “Korupsi adalah musuh bersama. Bila kasus ini dibiarkan, maka rakyat Papua akan terus menjadi korban keserakahan,” pungkasnya.
(Refly)