Suara Jurnalis | Manokwari —
Tanggal 18 November 1961 menjadi salah satu momen yang paling misterius dalam sejarah Papua. Michael Rockefeller (23), putra Gubernur Negara Bagian New York, Nelson Rockefeller, dinyatakan hilang saat sedang berada di wilayah Pantai Selatan Papua dalam misinya mengumpulkan artefak budaya untuk museum keluarganya.
Menurut Yan Christian Warinussy SH, kisah ini kembali menjadi sorotan setelah penulis asal Australia, Dr. Greg Poulgrain, dalam bukunya Bayang-Bayang Intervensi, menuturkan hasil wawancaranya dengan Rene Wassing, warga Belanda yang kala itu menjadi satu-satunya saksi hidup saat Rockefeller muda tenggelam di Laut Arafura. Mereka berdua terapung di lautan setelah kano mereka terbalik di Sungai Einlanden.
Kesaksian Wassing yang ditulis Poulgrain, ia berkali-kali memperingatkan Rockefeller agar tetap bertahan di kano yang terbalik. Namun, karena terlalu lama menunggu bantuan, Rockefeller memilih berenang meninggalkan perahu. Keputusannya itu, hingga kini, menjadi awal dari berbagai spekulasi mengenai nasibnya,” katanya. Kamis, (05/06/2025).
Isu yang paling menyita perhatian publik internasional saat itu adalah dugaan bahwa Michael Rockefeller tewas dibunuh dan dimakan oleh masyarakat adat yang masih menganut praktik kanibalisme. Namun tuduhan ini tidak pernah didukung oleh bukti hukum yang sah dan kuat. Beberapa bukti justru menunjukkan bahwa jerigen minyak yang digunakan Rockefeller ditemukan di pinggir sungai, memperkuat dugaan ia tewas karena kelelahan.
“Narasi kanibalisme kemudian dijadikan justifikasi politik oleh pihak tertentu untuk mendiskreditkan masyarakat Papua kala itu, dan menjadi alat delegitimasi hak menentukan nasib sendiri bagi Orang Asli Papua. Sayangnya, narasi semacam itu masih digunakan hingga kini dalam membentuk persepsi global tentang Papua,” ujar Warinussy.
Kini, lebih dari 60 tahun kemudian, luka lama itu terasa kembali terbuka dengan kasus penembakan terhadap dua tukang bangunan GKI Imanuel Air Garam, Kampung Kwantipo, Kabupaten Yalimo, Papua Pegunungan, pada Rabu, 4 Juni 2025. Kedua korban sipil itu tewas diduga akibat tembakan oleh kelompok bersenjata.
Muncul dugaan bahwa pelaku penembakan berasal dari Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) pimpinan Egianus Kogoya. Namun, yang menjadi pertanyaan penting adalah: mengapa kelompok ini menyasar warga sipil yang tidak bersenjata? Apakah benar kedua tukang bangunan tersebut adalah intelijen TNI/Polri seperti yang diduga?
“Sebagai seorang Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia (HRD) di Tanah Papua, saya melihat bahwa situasi ini mendesak untuk diselidiki secara independen. Sebab, narasi dan asumsi yang berkembang tanpa investigasi faktual berpotensi menciptakan konflik horizontal dan menambah beban kekerasan di Papua,” jelasnya.
Motif dari aksi penembakan terhadap dua warga sipil itu harus dibuka terang. Jika benar mereka bukan anggota militer atau aparat keamanan, maka tindakan tersebut jelas-jelas merupakan pelanggaran HAM berat yang tidak dapat dibenarkan dalam hukum nasional maupun internasional.
“Investigasi independen yang transparan, melibatkan unsur masyarakat sipil dan lembaga HAM nasional maupun internasional, adalah langkah penting agar tragedi seperti ini tidak lagi diulang dan agar Papua tidak terus menjadi wilayah gelap yang didefinisikan oleh mitos, stigma, dan kekerasan,” pungkasnya.
(Refly)