Suara Jurnalis | Manokwari – DR.Amiruddin al Rahab, mantan staf Kantor Staf Presiden (KSP) dan mantan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI) pernah mengatakan : “sejak 40 tahun yang lalu masalah dasar di Papua sama, yaitu seputar kemiskinan, ketidakadilan dan trauma akibat tindakan kekerasan.
Semua itu terjadi di Papua karena pemerintah dan tokoh-tokoh Papua disandera oleh sengketa, yang dalam literatur politik disebut gerakan separatisme”. Dalam kurungan sengketa seperatisme itu, sikap untuk saling percaya antara unsur pemerintah pusat dengan masyarakat di Papua tidak pernah bisa ditumbuh dengan subur.
Sikap saling percaya yang tidak kunjung tumbuh membuat kita harus sungguh – sungguh memperhatikan Papua saat ini”. Bisa dilihat dalam pengantar penulis oleh Amiruddin dalam bukunya Heboh Papua : Perang Rahasia, trauma dan separatisme, penerbit Komunitas Bambu, 2010. Menurut Jaringan Damai Papua (JDP) bahwa Pernyataan Amiruddin tersebut masih relevan dengan situasi akhir-akhir ini di seantero tanah Papua.
Keterhubungan tersebut disebabkan masih terdapatnya cara pandang Jakarta terhadap Papua bahwa di Bumi Cenderawasih ini, gerakan separatisme tersebut masih ada dan mesti dihadapi dengan mengedepankan operasi keamanan yang senantiasa menghalalkan pendekatan kekerasan bersenjata.
Akibatnya, sepanjang lebih dari 50 tahun terakhir ini senantiasa melahirkan korban berbentuk harta benda, perumahan, sarana perkantoran, pendidikan dan pelayanan kesehatan bahkan nyawa manusia tak berdosa sekalipun menjadi fakta telanjang di ranah publik.
Hal ini di ungkapkan oleh Juru Bicara Jaringan Damai Papua Yan Christian Warinussy SH kepada media. Minggu (21/01/2024).
“Sebagai Juru Bicara (Jubir) JDP saya menyampaikan bahwa masalah tersebut semestinya diletakkan segera dalam tataran kebijakan negara (state policy) yang dapat direalisasikan segera. Mesti ada kemauan dari pimpinan negara semisal Presiden Republik Indonesia di era pemerintahan yang baru untuk segera mengakhiri konflik sosial politik yang telah bertahun – tahun dilabeli separatisme tapi senantiasa dihadapi sebagai perbuatan kriminal “yang berdasar hukum” ditindak tegas, tapi senantiasa meninggalkan dimensi dugaan pelanggaran HAM Berat yang mendasar dan masif serta cenderung terstruktur rapih, ” kata Warinussy.
JDP menantang ketiga bakal calon Presiden Anis Baswedan, Prabowo Subianto serta Gandjar Pranowo untuk membuat “selembar” kertas kebijakan (policy paper) serta peta jalan (road map) dalam mengakhiri secara damai masalah Papua sebagaimana halnya dilakukan di Puerto Rico, USA atau Skotlandia, UK serta Quebec, Canada.
Saya sebagai juri bicara JDP Menantang ke tiga Calon Presiden Memberikan status khusus yang tidak saja seperti Otonomi Khusus saat ini di Tanah Papua sesungguhnya diharapkan demi memberi tidak saja keberpihakan (afirmatif) semata, tapi mesti ada perlindungan (proteksi) yang sungguh bagi keberadaan (eksistensi) Orang Asli Papua (OAP) dengan segenap penghormatan hak-hak dasar mereka. Sekali lagi JDP memandang bahwa perlu ada pengakuan yang jujur dari negara bahwa selama 25 tahun berlangsungnya pelaksanaan kebijakan otonomi khusus di Tanah Papua, belum mampu secara tegas dan jelas serta nyata menjawab pemenuhan hak dasar OAP dalam arti yang seluas-luasnya. Contohnya : OAP tidak diberi ruang politik untuk mampu mengisi kursi-kursi parlemen lokal hingga nasional di Indonesia, karena regulasi negara seperti halnya undang undang kepemiluan dan partai politik tidak memberi ruang bagi partisipasi politik OAP sebagai minoritas yang mesti diberi tempat di Tanah leluhurnya sendiri. Contoh lain, pelayanan kesehatan tidak memberi prioritas perlindungan yang masif bagi OAP, ” jelasnya.
Hal itu dapat diukur dari indikator tingginya angka kematian ibu hamil dan bayi di Tanah Papua. Juga pemberian dukungan beasiswa bagi para pelajar dan mahasiswa OAP untuk dapat mengikuti berbagai jenjang pendidikan menengah dan tinggi di Indonesia dan Dunia. Serta pula hak memperoleh kesempatan kerja dalam berbagai sektor negara dan swasta yang masih sering “dikebiri” dengan alasan mengikutsertakan anak non OAP dengan label lahir besar Papua (Labepa) dan regional yang justru menafikan amanat konsideran menimbang huruf e dan d dari Undang undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
“Ketakutan negara akan dapat terjadinya bahaya disintegrasi bangsa senantiasa menghantui proses penerimaan Calon Aparatur Sipil Negara (CASN), Calon anggota Polri dan Calon Anggota TNI yang jelas -j elas mempergunakan dukungan finansial dari kebijakan Otsus Papua yang sesungguhnya justru memarginalisasi anak-anak asli Papua yang menjadi sasaran utama lahirnya kebijakan tersebut sepanjang 25 tahun terakhir nyata berlangsung dan cenderung sangat tidak adil serta ikut memupuk benih ketidakpercayaan rakyat Papua terhadap Negara Republik Indonesia, ” ungkapnya.
“Karena itu, langkah menawarkan pola penyelesaian damai dan berkeadilan justru mendatang untuk didorong sekarang ini. JDP senantiasa berada ada garda terdepan untuk meminta perhatian Negara untuk segera memberi perhatian dan prioritas strategi politiknya dalam menyelesaikan konflik sosial politik yang telah lebih dari 50 tahun terus terjadi dan mempengaruhi pola hubungan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan antara Jakarta-Tanah Papua ini, ‘ pungkasnya.