Heldy Djafar, Bidadari Kalimantan Timur Istri Terakhir Sang Proklamator

Indramayu, Suarajurnalis – Di balik kisah besar seorang Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, tersimpan sosok muda nan lembut dari tanah Kalimantan Timur bernama Heldy Djafar. Gadis bersuara merdu dan berhati tulus ini menjadi lembar terakhir dalam perjalanan panjang cinta sang Proklamator. Ceritanya bukan sekadar romansa istana, melainkan juga kisah tentang takdir, kesederhanaan, dan keputusan hidup yang mengubah segalanya.

Masa Muda: Berlian dari Tenggarong

Heldy Djafar lahir di Tenggarong, Kutai Kartanegara, pada 10 Agustus 1947. Ia berasal dari keluarga berada ayahnya, H. Djafar, adalah seorang pemborong sukses di daerahnya. Namun, kekayaan bukanlah satu-satunya warisan keluarga Heldy. Sejak kecil, ia tumbuh dalam lingkungan yang sangat religius. Ia bahkan sudah khatam Al-Qur’an di usia muda, sebuah pencapaian yang menandai ketekunannya dalam beribadah.

Sang bibi pernah berpesan kepada orang tua Heldy bahwa gadis ini kelak akan “mendapatkan orang besar”. Ramalan itu membuat keluarganya menjaga Heldy seperti menjaga mutiara paling berharga—setiap langkah dan pergaulannya diawasi dengan penuh cinta.

Merantau ke Jakarta: Menempa Diri di Ibukota

Setelah lulus SMP, Heldy memutuskan untuk pindah ke Jakarta mengikuti kakaknya, Erham, yang bekerja di dunia perbankan. Ia tinggal di kawasan Jakarta Selatan dan melanjutkan pendidikan di Sekolah Guru Kepandaian Putri (SGKP) di Pasar Baru.

Di sekolah ini, Heldy belajar berbagai keterampilan rumah tangga dan memasak, mencerminkan karakter perempuan ideal pada masa itu. Kecakapannya dalam membaca Al-Qur’an membuatnya dikenal sebagai Qoriah terbaik di sekolahnya. Ia bahkan diundang oleh Universitas Indonesia untuk melantunkan ayat suci dalam acara Peringatan Nuzulul Qur’an—sebuah kehormatan yang jarang diperoleh siswi seusianya.

Pertemuan Takdir: Saat Mata Bung Karno Tertuju Padanya

Tahun 1964 menjadi awal dari kisah yang mengubah hidup Heldy selamanya. Saat itu, kakaknya yang bekerja dengan protokol kepresidenan mendapat tugas menyiapkan barisan Bhinneka Tunggal Ika di Istana Negara untuk menyambut tim Piala Thomas. Heldy terpilih mewakili Kalimantan Timur dalam acara tersebut.

Ketika Presiden Soekarno menaiki tangga Istana, pandangannya menyapu barisan peserta hingga akhirnya terhenti pada Heldy. Dengan gaya khasnya yang karismatik, Bung Karno menyapa sang gadis muda dengan hangat dan sejak detik itu, takdir pun mulai berputar.

Pertemuan demi pertemuan terjadi, baik di acara kenegaraan maupun kegiatan biasa. Dalam salah satu momen bersejarah, Heldy menyanyikan lagu khas Kalimantan berjudul “Bajiku Batang” di hadapan Bung Karno. Suaranya yang lembut membuat sang presiden meminta lagu itu dinyanyikan ulang sekali lagi seolah hatinya terpesona oleh keindahan suara sekaligus ketulusan gadis itu.

Cinta di Tengah Gejolak: Menjadi Istri Kesembilan Sang Presiden

Hubungan keduanya semakin dekat hingga akhirnya Soekarno memutuskan menikahi Heldy Djafar pada tahun 1966. Saat itu, Heldy baru berusia 18 tahun, sedangkan Soekarno telah berusia 65 tahun. Selisih usia yang besar tak menghalangi keputusan Bung Karno untuk menjadikan Heldy sebagai istri kesembilan sekaligus yang terakhir dalam hidupnya.

Setelah menikah, hidup Heldy berubah drastis. Ia tinggal di rumah yang dijaga ketat, selalu dikawal ke mana pun pergi, dan berada di bawah sorotan publik. Meski sempat merasa canggung dengan kehidupan baru itu, Heldy lambat laun mulai terbiasa dengan kehidupan sebagai ibu negara muda.

Gejolak Politik dan Akhir yang Sunyi

Namun, pernikahan yang baru seumur jagung itu tak berjalan mulus. Situasi politik Indonesia kala itu sedang bergejolak hebat, menjelang akhir kekuasaan Bung Karno. Karena tekanan politik, Soekarno lebih sering tinggal di rumah salah satu istrinya yang lain, Yurike Sanger, di kawasan Cimpedak, Polonia.

Kesepian dan jarak yang kian melebar membuat Heldy akhirnya mengambil keputusan berat: berpisah dari Soekarno. Setelah dua tahun menjalani kehidupan sebagai istri presiden, Heldy memilih untuk melanjutkan hidupnya sendiri.

Babak Baru Kehidupan

Pasca perpisahan itu, Heldy menemukan cinta kembali. Ia menikah dengan Gusti Suriansyah Noor, pria keturunan Kerajaan Banjar, dan menjalani kehidupan yang lebih tenang jauh dari hiruk-pikuk istana. Heldy Djafar tetap dikenal sebagai sosok yang lembut, santun, dan religius bukan karena statusnya sebagai istri seorang presiden, melainkan karena ketulusan hati dan keanggunannya yang alami.

Penutup

Heldy Djafar bukan sekadar nama dalam daftar panjang istri Bung Karno. Ia adalah simbol perempuan Kalimantan Timur yang lembut tapi berani menentukan jalan hidupnya sendiri. Dari istana hingga kehidupan sederhana, Heldy menunjukkan bahwa cinta bisa datang dari takdir namun kebahagiaan sejati berasal dari pilihan yang berani.

sumber: merdeka.com
red: Al Aris

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *