Hari-Hari Terakhir Presiden Soekarno di Istana Negara

Indramayu, Suarajurnalis – Di balik aura megah Istana Negara, tersimpan kisah memilukan yang jarang diungkap secara terang. Pada penghujung masa kekuasaannya, Presiden Soekarno sang Proklamator dan ayah bangsa harus menjalani hari-hari yang menggugah belas rasa. Bukan sambutan hormat atau pelayanan penuh kehormatan yang menemaninya, melainkan kesepian, pengurangan fasilitas, dan perlakuan yang membuat hati siapapun terenyuh.

Inilah kisah hari-hari terakhir Bung Karno di Istana Merdeka diceritakan dengan jernih, menyayat, dan penuh makna.

Dikekang di Istana yang Pernah Ia Pimpin

Sebagai Presiden yang masih menjabat, Bung Karno semestinya mendapatkan fasilitas terbaik. Namun, kenyataan jauh berbeda.

Fasilitas kepresidenan dikurangi drastis. Pengawalan dikebiri, hanya menyisakan CPM. Ia dilarang memakai helikopter kendaraan yang dulu memudahkannya bolak-balik Jakarta Bogor. Semua mobilitas harus menggunakan mobil. Bahkan lebih memilukan, permintaan dokter untuk menambah obat penyakit ginjal Bung Karno diabaikan.

Tubuh sang Proklamator perlahan membengkak. Setelah operasi di Wina, ia hidup dengan satu ginjal yang tak lagi bekerja sempurna. Tetapi negara yang ia perjuangkan dengan darah dan air mata tak lagi memberi ruang empati.

️Ketika Roti, Pisang, Bahkan Nasi Tak Lagi Ada

Menjadi Presiden, namun diperlakukan seperti rakyat jelata bahkan lebih buruk dari itu. Suatu pagi, Bung Karno bangun dengan rasa lapar. Ia memanggil pelayan istana dan meminta roti bakar, makanan paginya yang sederhana.

“Roti tidak ada, Pak,” jawab sang pelayan.

“Kalau begitu, pisang saja,” pintanya.

“Tidak ada juga.”

Bung Karno terdiam. Lapar yang menusuk, disertai kekecewaan yang jauh lebih perih.

“Nasi dengan kecap pun saya mau,” katanya lirih.

Namun jawaban yang datang lagi-lagi menghancurkan hati:
“Nasinya tidak ada, Pak.”

Presiden Republik Indonesia. Pemimpin besar Asia-Afrika. Proklamator kemerdekaan.
Dan pagi itu, ia bahkan tidak bisa mendapatkan sepiring nasi.

Dengan langkah berat, ia pergi ke Istana Bogor untuk meminta makan kepada Hartini rasa lapar dan luka hati bercampur menjadi satu.

️ Dibayangi, Diintai, dan Ditakuti Rakyatnya Sendiri

Di luar istana, Bung Karno selalu diawasi intel. Ketika ia hendak membesuk Kolonel Sunario di Gadog, ia menyempatkan diri melihat para petani. Namun alangkah terkejutnya ia ketika rakyat tiba-tiba menutup pintu dan bersembunyi ketakutan.

Mereka rupanya telah diintimidasi:
“Jangan mendekat kepada Soekarno. Akibatnya bisa fatal.”

Cerita tragis lain ikut menyertainya: seorang penjual sate yang melayani Presiden malam hari digelandang ke Kodim keesokan harinya. Bahkan seorang tentara yang bersujud di kaki Bung Karno di Cimelati menjadi misteri yang berujung interogasi kepada Supeni, pejabat tinggi negara.

Bung Karno, yang dulu dielu-elukan rakyat, kini menjadi sosok yang ditakuti untuk didekati.

Diusir dari Istana: Presiden yang Pergi Tanpa Kemewahan

Menjelang 17 Agustus 1967, Bung Karno diminta untuk angkat kaki dari Istana Merdeka. Bukan permintaan lembut tetapi perintah.

Ia diminta pindah ke Guest House di Iskandarsyah. Ia menolak. Ia meminta anak-anaknya tinggal bersama Fatmawati. Tak ada harta yang ia bawa, kecuali yang paling personal: pakaian pribadi, buku pelajaran anak-anak, dan sedikit perhiasan.

Guntur, anak pertamanya, kecewa karena tidak boleh membawa TV yang sudah ia siapkan. Bung Karno menahan semuanya:
“Jangan bawa harta negara. Kita pergi dengan kehormatan.”

Sang Proklamator keluar dari istana bukan dengan jas kebesaran negara, melainkan:

kaus oblong cap Cabe

celana piyama krem

sandal cap Bata yang sudah usang

dan koran besar berisi Sang Saka Merah Putih, yang ia bawa sendiri dengan tangan gemetar

Mobil Volkswagen Kodok tuanya menunggu. Ia duduk di belakang, menatap istana untuk terakhir kalinya tempat yang selama puluhan tahun menjadi pusat sejarah bangsa.

Setelah itu, Bung Karno tak pernah kembali lagi.

️ Di Wisma Yaso: Kesepian, Interogasi, dan Air Mata yang Diam

Di Wisma Yaso, Bung Karno hidup dalam pengawasan ketat. Jabatan “Presiden” tak boleh lagi ia sebutkan. Foto-fotonya diturunkan dari segala penjuru negeri. Ia, sang bapak bangsa, menjadi pesakitan politik di negeri yang ia lahirkan.

Bulan demi bulan ia diinterogasi Kopkamtib.

Anak-anaknya dilarang menemuinya.
Ia sering menangis diam-diam, mengenang masa kejayaannya di Istana Merdeka yang ternyata tak seindah bayangan banyak orang.

“Aku sebenarnya kesepian,” kata Bung Karno, suatu kali.

Dan begitulah, sang pemimpin besar perlahan tenggelam dalam sunyi dihabisi bukan oleh musuh dari luar, melainkan oleh badai dari dalam negeri sendiri.

Bacaan Lainnya

Penutup: Tragedi yang Menggetarkan Sejarah

Kisah ini bukan sekadar sejarah tetapi luka panjang dalam perjalanan bangsa. Bagaimana seorang bapak bangsa, proklamator, pemimpin besar Asia-Afrika, harus mengakhiri masa pemerintahannya dalam kesendirian yang menyesakkan.

Kisah ini mengajarkan bahwa sejarah memiliki dua wajah: kejayaan dan kejatuhan. Dan bagi Bung Karno, kejatuhan itu datang dengan cara yang paling menusuk hati.

Sumber: Sindonews.com
red: Al Aris

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *