H. Sirod *) : GUS DUR (refleksi diultah NU)

Indramayu, Suarajurnalis – Berziarah di maqbaroh KH. Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal dengan sapaan ‘Gus Dur’ memang memiliki kesan tersendiri. Kesan yg muncul adalah bagaimana dua kutub yg berhadap-hadapan antara kutub rasionalitas dan kutub transendental saling beradu argumentasi atas kepentingan masing-masing tentunya.

Kubu rasionalital berargumen terlalu banyak energi yang harus terbuang sia-sia, jika hanya karena ingin mendapatkan barokah harus menempuh jarak ribuan kilometer sementara harus meninggalkan kegiatan yang lebih bersifat primer. Padahal dalam pandangan teologi kewalian, dengan seijin Allah SWT amat mudah bagi kekasih-Nya menebar percikan-percikan barokah kepada siapa yang dikehendaki, karena bagi para kekasih-Nya mereka sudah tidak lagi terbelenggu oleh keterikan masa, waktu, dan tempat. Mereka para kekasih Allah SWT itu _Wala tahsabannalladzina qutilu fi sabilillahil amwat Bal ahya un ‘inda robbihim yurzaqun_ (QS. Ali Imran, ayat : 169).

Sementara bagi para penganut transendental setidaknya ada dua alasan, mengapa jarak yang demikian jauh tidaklah menjadi beban.

Pertama : Alasan cinta, ada suatu adagium yang sangat berkesan tentang cinta, _Man ahabba syai’an fahua ‘abduhu_ cinta telah demikian menghapus jarak dan waktu. Lelah berganti rupa menjadi kenangan yang mempesona dan dimungkinkan melahirkan energi-energi positif dalam dimensi keruhanian yang tak bertepi.

Kedua : alasan ekonomi dan silaturahmi, betapa tidak, dengan kegiatan wisata religi itu setidaknya berkontribusi terhadap usaha jasa transportasi yang imbasnya tentu tergeraknya roda ekonomi.

Sementara dari aspek silaturahmi. Manusia adalah mahluk sosial dengan tantangan yang tidak sederhana dalam kontek dinamika sosial yang lebih luas.

Sikap tenggang rasa, saling menghargai, mendahulukan kepentingan bersama, dan saling memaafkan hanya didapatkan diarea kerumunan sosial sebagai arena edukasi yang sangat urgen.

Namun puncak yang harus menjadi tujuan fundamental berziarah ke peristirahatan terakhir Gus Dur adalah pesan moral yang harus menjadi pijakan. Mengetahui jejak-jejak kaki tokoh pluralisme itu menjadi sangat penting bagi para peziarah, karena Gus Dur oleh beberapa pihak termasuk pendapat Prof. Dr. KH. Sa’id Aqil Siradj, Gus Dur adalah tokoh yang telah mampu melampaui dimensi kemanusiaannya.

Dalam legenda teologi penciptaan Gus Dur adalah tokoh yang memandang manusia dengan pandangan kasih sayang yang sangat universal dengan mengesampingkan atribut yang disandangnya.

Perbedaan agama, dan kepercayaan adalah hal yang bersifat keniscayaan. Gus Dur adalah tokoh yg diterima oleh semua pihak dalam komunitas bangsa yang beragam, kecuali oleh tokoh yang organisasinya telah dinyatakan terlarang oleh negara seperti FPI, karena organisasi itu tidak mengakui konsensus nasional Indonesia.

Dari sekian banyak pesan moral yang harus diketahui adalah tentang falsafah hidup sederhana Gus Dur, yang dengan falsafah itu memungkinkan Gus Dur mendapatkan simpati sejak beliau masih hidup hingga sekarang sepeninggal beliau. Nyaris tanpa jeda maqbaroh beliau mendapatkan kunjungan do’a bukan hanya dari masyarakat muslim tetapi juga dari komunitas agama lain.

Syair dalam bahasa arab yang sering disenandungkan beliau adalah :

_Waladatka ummuka ya abna adama baqiyan, wannasu haulaka yadhakuna sururo, Fajhad li nafsika, antakuna idza bakau, Fi yaumi mautika, dhohikam masruro_

Artinya: “Ketika ibu melahirkanmu, wahai anak cucu Adam engkau menangis. Sedang orang-orang disekitarmu menyambutmu riang.
Maka, bekerjalah sungguh-sungguh untukmu sendiri, ketika engkau tak lagi bersama untuk selamanya. Mereka menangis tersedu-sedu. Sedang engkau pulang sendiri dengan senyum menawan”.

Gus Dur nampaknya menjadikan hidup untuk didedikasikan kepada kemanusiaan tanpa melihat status dan merk kemanusiaan itu. Alasan beliau sederhana bahwa dari sekian perbedaan manusia ada sisi universal yang harus diperjuangkan, diantaranya adalah hak hidup bagi semua dibumi Allah SWT ini.

Bulan Desember adalah bulan Gus Dur

Selamat jalan Gus… _Begitu saja kok repot_.

Wallahu a’lam.

*) seorang penulis aktif, aktivis NU, pecinta Gus Dur, tinggal di Pipisan

red: Al Aris

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *