Guru, Beban Negara Oleh: Masduki Duryat *)

Indramayu, Suarajurnalis – Jika pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani benar, “bahwa guru, menjadi beban negara”, karena Kementerian Keuangan (Kemenkeu) membantah narasi dalam sebuah video yang menggambarkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut guru sebagai beban negara, sangat tidak elok.

Pernyataan itu ramai dikutip bahkan trending di berbagai platform media sosial. Terkait ramainya perbincangan tersebut, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Deni Surjantoro mengemukakan bahwa Menteri Keuangan tidak pernah menyatakan bahwa Guru adalah beban negara. Potongan video yang menampilkan seolah-olah Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan guru adalah beban negara itu hoax, hasil deepfake dan potongan tidak utuh dari pidato Menkeu dalam Forum Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia di ITB pada 7 Agustus lalu.

Sekali lagi, jika pernyataan ini benar. Menganggap guru sebagai beban negara adalah tindakan yang tidak adil dan merendahkan peran mereka dan sangat jahat.

Gaji guru dan dosen disebut sebagai “beban negara.” Sebuah frasa yang dingin, teknokratis, dan jauh dari semangat memuliakan pendidik. Pernyataan ini bukan sekadar soal fiskal, melainkan soal cara pandang: melihat guru bukan sebagai investasi jangka panjang, melainkan sekadar angka dalam tabel anggaran.

Anies R. Baswedan pada kampanye Presiden yang lalu menyampaikan untuk Pendidikan—termasuk kesejahteraan guru—harusnya dianggap investasi bukan cost yang harus dikeluarkan oleh pemerintah. Guru bukanlah beban, melainkan investasi strategis atau pilar penting dalam Pembangunan bangsa.

Ketika Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak akibat bom atom Amerika Serikat pada 1945, Kaisar Hirohito dihadapkan pada kenyataan pahit: Jepang porak poranda, rakyatnya kehilangan harapan, dan negara itu nyaris kehilangan masa depan. Namun, apa yang dilakukan sang Kaisar? Ia tidak berkeluh kesah pada angka-angka kerugian, tidak pula menuding rakyatnya sebagai “beban.” Sebaliknya, ia mengumpulkan sekitar 45.000 guru yang tersisa dan memberi mereka mandat: membangun kembali Jepang melalui pendidikan. Hirohito paham, di tangan gurulah peradaban baru dapat ditata.

Apakah Ibu Menteri lupa, bahwa tanpa guru, tidak ada menteri? Apakah Ibu Menteri lupa, bahwa ilmu yang ia genggam lahir dari keringat pendidik? Mengatakan guru sebagai “beban” sama artinya dengan menegasikan fondasi peradaban bangsa.

Dalam kesempatan itu, Sri Mulyani menyatakan bahwa rendahnya gaji guru dan dosen merupakan tantangan keuangan negara, sambil mempertanyakan apakah seluruh pembiayaan harus ditanggung negara atau melibatkan partisipasi masyarakat.

Ketika salah satu gubernur melakukan kebijakan 50 siswa per rombel di sekolah negeri dengan menafikan peran swasta dan masyarakat—tanpa ada pembelaan dari pemerintah pusat—tapi giliran menyangkut pembiayaan dan kesejahteraan guru, pemerintah—melalui Menteri Keuangan mempertanyakan, ‘apakah pembiayaan (guru/dosen) harus ditanggung negara (semua) atau melibatkan partisipasi Masyarakat?’.

*) Penulis adalah Rektor Institut Studi Islam Al-Amin Indramayu dan Dosen Pascasarjana UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

red: Al Aris

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *