Oleh: Rian Sukmawan, S.H. (Aktivis Mahasiswa, Pemerhati Isu Politik Nasional dan Jurnalis)
Tepat pada 25 April 2025, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengeluarkan Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2–2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau.
Keputusan itu menetapkan bahwa Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil yang selama ini diakui sebagai kawasan Kabupaten Aceh Singkil, kini resmi dialihkan ke Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara ([kumparan.com][1], [nasional.kompas.com][2]).
Sebagai orang yang mempelajari sejarah dan geopolitik wilayah ini, saya merasa berkewajiban berbicara: _saya mendukung penuh perjuangan Aceh untuk menuntut keadilan._ Keputusan sepihak ini bukanlah sekadar soal administrasi; ia menyentuh marwah, identitas, dan kedaulatan rakyat Aceh.
Latar Belakang Teknis
Kemendagri berdalih keputusan diambil berdasarkan verifikasi spasial sejak 2008–2009 melalui Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi. Pada 2008, Aceh mencatat 260 pulau, tanpa keempat pulau perselisihan; sementara Sumut mencatat 213 pulau, termasuk empat pulau tersebut. Pemeriksaan lanjutan pada 2017–2020 menegaskan pulau-pulau itu secara geografis berada di perairan dekat Tapanuli Tengah ([bandaaceh.pikiran-rakyat.com][3], [kumparan.com][1]).
Hak vs Regulasi
Namun, keberadaan peta dan nama hanyalah satu sisi. Aceh memiliki dasar historis dan legal yang kuat, termasuk kesepakatan Gubernur Aceh–Sumut tahun 1992 yang menyahkan keempat pulau tersebut sebagai bagian Aceh serta pernyataan Mendagri terdahulu, Jenderal Rudini. Bahkan proses legislasi seperti UU Pemerintahan Aceh 2006 mendukung klaim wilayah Aceh ([nasional.kompas.com][4]).
Artinya, *penarikan administrasi yang tiba-tiba hanya berdasarkan koordinat spasial* saja sangat berbahaya. Ini bukan hanya soal garis, tapi soal keadilan historis dan kultural, sungguh bisa membangkitkan luka lama di Aceh.
Mengapa Saya Bersuara?
Sebagai warga negara yang menaruh respek tinggi terhadap *otonom daerah* dan proses demokrasi, saya prihatin melihat rantai kekuasaan pusat yang tampak kaku, menyisihkan aspirasi dan legitimasi daerah. Apalagi ketika diduga ada potensi kekayaan alam—seperti energi atau sumber daya laut—yang melatari keputusan ini ([kompas.com][5]).
Tokoh nasional seperti Jusuf Kalla juga menyuarakan dukungan agar keempat pulau — yang menurutnya memang milik Aceh — dikembalikan. Dan aparat daerah, termasuk DPR dan masyarakat lokal, menyatakan keprihatinan mereka; melihat ini sebagai luka yang bisa menumbuhkan konflik ulang .
Apa yang Harus Dilakukan
1. Mendagri Tito Karnavian, peran Anda tak hanya regulator administratif, tapi juga mediator yang menjembatani hak daerah.
2. Presiden Prabowo Subianto, sebagai pihak tertinggi eksekutif, saya berharap segera mengambil sikap tegas dan netral, memastikan masalah ini diselesaikan secara adil, bukan hanya digeser secara sepihak ([nasional.kompas.com][6]).
3. Aceh, jika memiliki data historis dan legal, silakan ajukan gugatan ke PTUN atau bahkan MK. Media dan publik perlu didorong untuk mendengar suara Anda.
4. Media dan publik, mari dorong transparansi dalam pengambilan keputusan ini. Jangan biarkan geopolitik mengalahkan kebenaran sejarah.
Saya berdiri di sisi keadilan untuk Aceh, bukan karena nasionalisme sempit, tapi karena hak konstitusional dan historis harus dipertimbangkan, bukan dieliminasi dengan koordinat. Kalau ranah dibiarkan sepi, luka lama bisa terbuka kembali. Mari kita jaga perdamaian, hormati sejarah, dan jangan biarkan identitas Aceh dirampas secara administratif tanpa dialog dan penegakan data faktual.
Red (A-PPI)