Indramayu, Suarajurnalis – Desember tahun ini datang dengan atmosfer yang ganjil bagi warga Nahdliyin. Bulan yang lazimnya khidmat untuk mengenang KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), kini justru riuh oleh debu konflik politik yang menyesakkan. Di tengah persiapan haul sang Guru Bangsa, publik justru disuguhi tontonan vulgar tentang upaya pelengseran paksa terhadap Ketua Umum PBNU yang juga murid ideologisnya, KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya).
Dalam tulisan sebelumnya, ” : ” (Peradaban.ID, 24/11), saya mengulas bagaimana Gus Yahya sedang membangun “sistem pemerintahan” di tubuh Nahdlatul Ulama (NU). Hari ini, sistem itu sedang menghadapi ujian hidup-mati.
Bagi yang belum mengikuti alur pemikiran Gus Yahya, perlu dipahami bahwa “Pemerintahan NU” atau – bukanlah gagasan mendirikan negara di dalam negara. Ini adalah ikhtiar untuk menata organisasi raksasa ini agar dikelola dengan standar manajemen modern: berbasis regulasi yang ketat, impersonal, dan taat asas, layaknya sebuah pemerintahan negara yang berwibawa. Tujuannya satu: mengubah NU dari sekadar kerumunan yang cair menjadi barisan yang kokoh. Namun, saat ini, pondasi sistem yang sedang dibangun itu diguncang hebat.
Apa yang terjadi di PBNU sekarang bukan sekadar konflik elit, melainkan sebuah dejavu sejarah. Kita seolah sedang menonton siaran ulang tragedi politik tahun 2001. Bedanya, jika dulu Gus Dur dijatuhkan dari Pemerintahan RI, kali ini sang murid menghadapi skenario penjegalan yang nyaris serupa di pucuk pimpinan Pemerintahan NU. Keduanya menghadapi ujian yang sama: upaya delegitimasi yang dilakukan bukan oleh musuh ideologis, melainkan oleh orang-orang yang dulu berada dalam satu barisan.
:
Mari kita jujur melihat pola yang ada. Kemiripan antara pelengseran Gus Dur (2001) dan upaya pemakzulan Gus Yahya (2025) sungguh presisi. Buku petunjuk () yang digunakan pihak penyerang nyaris tak berubah: bunuh karakter moralnya dulu, baru jatuhkan orangnya.
Ada dua peluru kembar yang digunakan untuk menembak jantung legitimasi kedua tokoh ini: isu Israel dan isu keuangan.
Dulu, sebelum Gus Dur dijatuhkan secara fisik dari jabatan Presiden, nama baiknya dihancurkan lebih dulu lewat isu dan . Gus Dur dituduh terlibat dalam skandal keuangan dan penyalahgunaan kekuasaan. Di saat yang sama, kedekatan Gus Dur dengan tokoh-tokoh Yahudi dan gagasannya membuka hubungan dagang dengan Israel digoreng habis-habisan untuk mencitrakan beliau sebagai “antek Zionis” yang mengkhianati umat. Meski tak pernah terbukti secara hukum di pengadilan, kombinasi isu korupsi dan Zionisme itu sukses menggerus legitimasi moral Sang Kiai Presiden di mata publik dan menjadi amunisi bagi Sidang Istimewa.
Kini, Gus Yahya dibidik dengan peluru yang sama persis. Ia tidak diserang karena ketidakcakapan dalam memimpin, melainkan diserang lewat isu integritas. , isu Israel. Langkah Gus Yahya melanjutkan diplomasi kemanusiaan global ( )—termasuk keterlibatannya dalam forum-forum agama dunia yang melibatkan tokoh Yahudi—dipelintir menjadi tuduhan pro-Zionisme. , isu keuangan. Muncul tuduhan serius mengenai dugaan keterkaitan aliran dana di PBNU dengan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Narasi ini bukan main-main. Terlepas dari ketiadaan bukti yang valid, narasi ini menempatkan NU dalam bahaya pembekuan atau pembubaran oleh negara. Bahwa serangan bumi hangus ini dilancarkan oleh orang dalam sendiri, menunjukkan betapa syahwat kekuasaan telah menghilangkan akal sehat untuk menjaga keutuhan rumah bersama.
Menghadapi serangan ini, Gus Yahya memilih bertahan. Bagi pengamat luar, sikap ini mungkin terlihat sebagai ambisi mempertahankan jabatan. Namun, bagi mereka yang memahami tradisi pesantren, ini adalah soal prinsip fikih.
Gus Dur dan Gus Yahya adalah manusia pesantren (paripurna). Setiap langkah mereka, maju atau mundur, harus punya landasan hukum () yang sah. Sesuai kaidah ushul fikih, “- ‘ ‘ ‘” (Hukum itu beredar bersama illat-nya, ada dan tiadanya).
Dulu Gus Dur menolak mundur dari Istana, bukan karena gila kuasa, tapi karena ia berpegang pada prinsip: mundur tanpa alasan syar’i adalah (kabur dari medan pertempuran)—sebuah dosa besar bagi pemimpin yang memegang amanah. Gus Dur baru bersedia pergi ketika berupa kondisi kesehatan yang memburuk muncul, bukan karena tekanan politik.
Gus Yahya saat ini memegang prinsip yang sama. Ia bergeming bukan karena tebal muka, melainkan karena yang diajukan untuk memecatnya tidak sah secara aturan. Tuduhan sepihak tentang pro-Zionis atau penyelewengan dana yang belum pernah diuji pembuktiannya di forum resmi () bukanlah alasan yang cukup untuk membatalkan mandat ribuan muktamirin. Bagi Gus Yahya, menyerah pada tekanan gerombolan tanpa dasar hukum yang ‘ (pasti) adalah bentuk pengkhianatan terhadap mandat muktamar.
Namun, ada sisi lain dari konflik ini yang lebih mencemaskan daripada nasib Gus Yahya sendiri, yaitu fenomena pelanggaran terhadap kesepakatan bersama.
Kita menyaksikan adanya manuver dari pihak penyerang yang mencoba memaksakan kehendak dengan menabrak rambu-rambu organisasi. Padahal, AD/ART NU bukanlah sekadar dokumen administrasi biasa. Ia adalah ‘ (Perjanjian Bersama) yang disepakati oleh para ulama dalam forum tertinggi.
Memecat Ketua Umum terpilih melalui jalan pintas—seperti Rapat Harian yang tidak memiliki wewenang memecat mandataris Muktamar—adalah tindakan yang mencederai janji kolektif tersebut. Dalam etika Islam, melanggar kesepakatan demi memuaskan target politik, atas nama apa pun, adalah preseden yang sangat buruk.
Jika cara-cara inkonstitusional ini dibiarkan dan diamini, marwah NU sebagai jam’iyyah para ulama akan runtuh. NU akan terdegradasi menjadi sekadar paguyuban di mana aturan main bisa ditekuk sesuai selera subjektif elit. Siapa pun yang sedang kuat bisa memecat siapa pun yang tidak disukai tanpa prosedur. Ini adalah hukum primitif yang justru ingin dihapus oleh para ulama NU yang selalu mengedepankan musyawarah dan aturan.
Di sinilah letak ujian sesungguhnya bagi Gus Yahya. Ia tidak sedang bertarung untuk dirinya sendiri. Ia sedang bertarung untuk menegakkan sistem yang ia bangun. Konsep “Pemerintahan NU” yang ia gagas adalah sebuah antitesis terhadap budaya organisasi yang feodal dan personalistik. Ia ingin NU dikelola berdasarkan (aturan), bukan (sosok).
Gus Yahya, sang murid yang dulu menyaksikan dengan pedih bagaimana gurunya dikhianati oleh sistem politik negara yang belum dewasa pada tahun 2001, kini telah belajar banyak. Ia tahu bahwa karisma saja tidak cukup untuk melawan manuver politik yang destruktif. Maka, ia membangun benteng sistem. Hari ini, ia berdiri tegak membentengi PBNU bukan dengan kesaktian, tapi dengan ketaatan pada aturan dan prosedur.
Ia seolah hendak berkata: Sejarah pengkhianatan tahun 2001 tidak boleh terulang. Di masa depan, tidak boleh ada lagi pemimpin NU yang dijatuhkan di tengah jalan hanya karena fitnah yang belum terbukti, atau karena ambisi segelintir pihak yang memanipulasi aturan.
Desember ini, kita memang merindukan Gus Dur. Tapi cara terbaik mengenang Gus Dur bukanlah dengan meratapi tragedi masa lalu, melainkan dengan menjaga agar rumah yang diwariskannya tetap tegak berdiri di atas pondasi kejujuran dan aturan main. Mempertahankan Gus Yahya hari ini, pada hakikatnya, adalah menyelamatkan akal sehat kita dalam berjam’iyyah.
Oleh: Sofian Junaidi Anom
Penulis adalah Pengurus LTN PBNU dan Penggerak Komunitas Terong Gosong.
Dikutip dari Peradaban
red: Al Aris
Belajar Dari Gus Dur, Ujian Sang Murid Di Pemerintahan NU





