Beberapa Kesaksian Tentang Kahar Muzakkar

Indramayu, Suarajurnalis – Di bawah terik matahari tahun 2008, Boet Philippe Manuel Romphas atau yang dikenal sebagai B.Ph.M. Romphas mengenang sebuah siang bersejarah. Ia, seorang wartawan IPPHOS dari Makassar, berada dalam misi penting bersama Panglima M. Jusuf di pantai Bone Pute, Larompong Selatan, Luwu, tahun 1962. Misi itu: perundingan dengan sosok legendaris sekaligus kontroversial, Kahar Muzakkar.

Sebagai seorang Nasrani, Romphas belajar mengucapkan salam dan menyembunyikan identitas wartawannya. Namun nasib berkata lain. Setelah pertemuan dengan Kahar selesai dan suasana mulai cair, mata tajam sang pemberontak melihat stiker kecil di belakang kameranya bertuliskan “IPPHOS.” Suasana menegang. Tapi ketegangan itu seketika mencair ketika Kahar menyebut nama Franz Mendur, sahabat lamanya yang juga wartawan di Yogyakarta. Dari situ, Romphas menyadari: Kahar bukan hanya seorang pejuang bersenjata, melainkan juga seorang intelektual yang pernah berdiskusi dengan para jurnalis dan cendekia.

Namun, perjalanan sejarah tidak selalu seindah kenangan.

Ketika pada 20 Januari 1952 Kahar menyatakan bergabung dengan pergerakan DI/TII di bawah Kartosuwiryo, pergolakan besar pun meledak di Sulawesi Selatan. Ia menjadi Panglima Divisi IV TII juga dikenal sebagai Divisi Hasanuddin dan kemudian menjabat Wakil Pertama Menteri Pertahanan NII pada tahun 1955.

Kahar berupaya membangun tatanan baru yang disebutnya lebih murni dan islami. Dalam piagam Makkalua, ia menolak struktur aristokrat lama gelar seperti Andi, Daeng, Puang, Opu, dan Bau dihapus, diganti dengan sapaan “Bung.” Van Dijk dalam Darul Islam: Sebuah Pemberontakan menulis bahwa Kahar bahkan menyatakan perang terhadap kaum bangsawan yang menolak membuang gelarnya, serta terhadap kelompok mistik yang dianggap fanatik.

Salah satu operasi paling kerasnya dikenal sebagai Operasi Toba’ (Tobat), di mana pasukan DI/TII memburu kaum bissu para waria suci penjaga adat Bugis. Mereka ditangkap, dipakaikan pakaian laki-laki, lalu dipaksa mencangkul di sawah. Bissu Saidi mengenang kejadian itu dengan getir, “Kalau didapati, digerekki, nak,” katanya lirih saat diwawancara Historia pada 2011.

Di wilayah lain, teror menjalar. Thomas Lasampa, tokoh adat Padoe di Luwu Timur, mengingat pidato pasukan DI/TII di upacara kemerdekaan 1952:

“Kalau ada yang memelihara babi, diberi waktu seminggu untuk membunuhnya. Setelah itu semua harus Islam.”

Ketakutan menyelimuti. Demi bertahan hidup, banyak keluarga non-Muslim berpura-pura memeluk Islam. Lasampa bahkan belajar membaca dan menghafal ayat-ayat Al-Qur’an agar tidak dicurigai.

Cerita serupa datang dari Sabaruddin, warga Nasrani di Dongi. Saat kampungnya diserang tahun 1958, ia ikut mengungsi ke daerah di bawah kendali DI/TII. Semua pengungsi diwajibkan mengaji. Sabaruddin belajar membaca Al-Qur’an, bahkan menamatkannya tiga kali. “Dalam Al-Baqarah banyak ajaran tentang toleransi,” katanya lirih, dengan tajwid yang masih ia ingat hingga kini.

Namun kekerasan tidak berhenti pada soal agama. Ideologi pun menjadi sasaran.

Andi Nyiwi, koordinator Barisan Anti Jawa Komunis (BAJAK), mengaku pernah mendapat restu diam-diam dari Kahar untuk membunuh siapa pun yang dicap komunis. “Kalau saya bilang komunis, Bung Kahar hanya diam dan bilang ‘tidak apa-apa’,” ujarnya. Kini, Nyiwi menyesali perbuatannya. “Saya selalu berdoa dan bertobat,” katanya pelan.

Dari tahun 1950 hingga 1965, ribuan nyawa melayang di tanah Sulawesi tanpa membedakan agama, suku, atau keyakinan. Banyak yang menjadi yatim piatu, banyak pula yang hidup dalam ketakutan.

Mahade Tosalili, seorang warga Sorowako yang kini telah tiada, mengenang masa itu sebagai zaman penuh penderitaan. “Tak boleh pakai jas, tak boleh pakai arloji. Beli gula pun harus sembunyi-sembunyi,” kenangnya getir. “Itu benar-benar membuat orang tersiksa.”

Kisah tentang Kahar Muzakkar bukan sekadar sejarah pemberontakan. Ia adalah potret kompleks tentang idealisme dan kekerasan, antara niat suci menegakkan keadilan dan kenyataan pahit darah yang tertumpah. Ia dikenang bukan hanya sebagai pemberontak, tapi juga sebagai manusia yang terjebak dalam arus besar zamannya antara cita dan luka.

Sumber : Historia.id
red: Al Aris

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *