Suara Jurnalis | Manokwari, — Kasus pengeroyokan dan penganiayaan terhadap seorang siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kehutanan Manokwari bernama Frengky Bisaliel Rumawak (FBR), terus bergulir. Peristiwa kekerasan yang terjadi pada Senin, 10 Maret 2025 lalu, kini telah menetapkan lima orang tersangka dewasa dan satu tersangka anak di bawah umur.
Advokat senior dan Pembela HAM di Tanah Papua, Yan Christian Warinussy, SH, menyampaikan apresiasinya kepada Kapolresta Manokwari, Kombes Pol Ongky Isgunawan, yang telah bekerja serius menangani kasus ini. Menurutnya, penetapan enam tersangka menunjukkan adanya komitmen kepolisian dalam menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
“Sebagai Kuasa Hukum dari korban FBR, saya mengucapkan terima kasih atas langkah tegas Polresta Manokwari. Ini penting untuk memberikan rasa keadilan bagi korban dan keluarganya,” ujar Warinussy dalam keterangannya kepada media. Senin, (07/07/2025).
Kelima tersangka dewasa masing-masing berinisial MM, HM, DDP, AM, dan US, saat ini dikenakan wajib lapor di Unit PPA Satuan Reskrim Polresta Manokwari. Sementara itu, satu tersangka Anak Bermasalah Hukum (ABH) berinisial Z juga telah diproses secara hukum.
Namun, masih ada satu orang terduga pelaku berinisial LM yang hingga kini belum ditetapkan sebagai tersangka karena sedang berada di luar daerah untuk masa libur. Kuasa hukum mendorong agar proses hukum terhadap LM segera dilakukan setelah ia kembali ke Manokwari.
“Saya meminta agar penyidik tidak ragu untuk menetapkan LM sebagai tersangka segera setelah yang bersangkutan kembali. Tidak boleh ada tebang pilih dalam penegakan hukum,” tegas Warinussy.
Ia juga mendorong agar berkas perkara enam tersangka tersebut segera dilimpahkan ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Kejaksaan Negeri Manokwari, guna mempercepat proses ke persidangan.
Selain itu, Warinussy mendesak agar aparat penegak hukum menerapkan Pasal 21 KUHAP, yang memungkinkan dilakukan penahanan terhadap para tersangka, mengingat dampak psikis dan fisik yang dialami oleh korban FBR yang masih berusia 16 tahun.
“Klien kami mengalami luka fisik dan trauma psikologis akibat aksi premanisme tersebut. Orang tuanya pun sangat terpukul. Maka pilihan untuk menempuh proses hukum hingga ke meja hijau adalah bentuk perjuangan keadilan,” lanjut Warinussy.
Ia menegaskan bahwa kekerasan di lingkungan pendidikan tidak bisa ditoleransi, dan kasus ini harus menjadi contoh agar tidak terjadi lagi tindakan brutal seperti itu di sekolah-sekolah di Manokwari maupun Papua Barat secara umum.
(Refly)