Advokat HAM Minta Kajari Sorong Batalkan Rencana Pemindahan Sidang ke Makassar

Suara Jurnalis | Sorong – Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Papua, Yan Christian Warinussy SH, mempertanyakan dasar hukum langkah Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Sorong, Makrun SH, MH, yang berencana memindahkan persidangan empat tersangka dugaan tindak pidana makar dari Sorong ke Pengadilan Negeri Makassar Kelas I A.

Empat tersangka tersebut adalah Abraham Goram Gaman, Maksi Sangkek, Piter Robaha, dan Nixon Maay. Menurut Warinussy, hingga saat ini tidak ada alasan hukum yang kuat untuk melakukan pemindahan tempat sidang tersebut.

Bacaan Lainnya

Dari sisi keamanan, ia menegaskan bahwa Kota Sorong telah memiliki perangkat keamanan yang memadai. Keberadaan Polresta Sorong serta Polda Papua Barat Daya dinilai cukup menjamin jalannya persidangan secara aman dan tertib.

Selain itu, dari perspektif hak asasi manusia, Sorong merupakan lokasi yang dekat dengan keluarga para tersangka. “Memindahkan sidang ke Makassar berarti menghalangi mereka untuk mendapatkan dukungan moral dan psikologis dari keluarga,” ujar Warinussy.

Sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Warinussy mengajak para pembela HAM dan aktivis organisasi nonpemerintah (NGO) untuk bersama-sama mengadvokasi kasus ini.

Ia menilai bahwa rencana Kajari Sorong tersebut merupakan tindakan yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas. “Langkah ini berpotensi melanggar prinsip peradilan yang adil,” tegasnya.

Warinussy juga mendesak Wali Kota Sorong dan Gubernur Papua Barat Daya untuk tidak memberikan dukungan pendanaan terkait pemindahan sidang ini. Menurutnya, pembiayaan perjalanan sidang ke Makassar bagi penuntut umum justru bertentangan dengan kepentingan hukum.

Lebih jauh, ia menyoroti adanya pola diskriminasi rasial terhadap Orang Asli Papua (OAP) dalam penegakan hukum. Ia menyebut bahwa langkah pemindahan sidang seperti ini kerap digunakan untuk membatasi ruang demokrasi dan ekspresi warga Papua.

“Ini adalah bentuk fragmentasi penegakan hukum yang merugikan hak-hak OAP,” kata Warinussy.

Ia menekankan bahwa sidang seharusnya dilaksanakan di tempat yang tidak memberatkan para terdakwa, sesuai dengan asas peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan.

Warinussy berharap agar aparat penegak hukum dapat mengedepankan prinsip keadilan dan menghormati hak-hak terdakwa dalam setiap proses hukum.

“Pengadilan adalah benteng terakhir pencari keadilan. Jangan sampai justru menjadi alat yang membungkam kebebasan berpendapat di Tanah Papua,” pungkasnya.

(Refly)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *