Abolisi dan Amnesti Menuai Kontroversi, Papua Tagih Janji Perdamaian

Suara Jurnalis |Manokwari – Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, resmi memberikan abolisi kepada Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan era Presiden Joko Widodo, serta amnesti kepada Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Keputusan ini diumumkan menjelang Peringatan 80 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia.

Langkah ini sontak menuai reaksi keras dari berbagai kalangan. Banyak pihak mempertanyakan kebijakan Presiden Prabowo tersebut, terutama karena kedua penerima abolisi dan amnesti itu sedang tersangkut kasus dugaan tindak pidana korupsi (Tipidkor). Padahal, pemberantasan korupsi masih menjadi prioritas hukum di Indonesia.

Bacaan Lainnya

Pemerintah beralasan bahwa keputusan ini merupakan bentuk penghormatan terhadap semangat kemerdekaan. Namun, publik menilai bahwa langkah tersebut justru mencederai prinsip keadilan dan supremasi hukum yang tengah dibangun.

Sementara itu, dari ujung timur Indonesia, suara kritis datang dari Tanah Papua. Yan Christian Warinussy, Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, menyoroti prioritas negara yang tidak seimbang. Menurutnya, Papua justru membutuhkan perhatian lebih terhadap penyelesaian konflik bersenjata yang belum pernah tersentuh secara serius oleh pemerintah pusat.

“Rakyat Papua belum melihat adanya langkah moderasi nyata dari negara. Konflik bersenjata terus terjadi dan menelan korban dari kalangan masyarakat sipil Papua Asli,” ujar Warinussy, yang juga dikenal sebagai pembela hak asasi manusia (HRD) di Papua. Senin, (04/08)2025)

Warinussy menambahkan, usulan dialog damai dari berbagai pihak termasuk Jaringan Damai Papua (JDP) selama ini tidak pernah digubris pemerintah. Media dialog, menurutnya, adalah jalan terbaik ketimbang operasi militer berkepanjangan yang justru memperpanjang penderitaan rakyat.

Ia menilai bahwa selama lebih dari lima dekade, pendekatan kekerasan di Papua telah gagal meredam konflik. Bahkan, berbagai organisasi dan aktivis Papua yang memilih jalur damai tidak pernah dilibatkan dalam pembicaraan resmi penyelesaian konflik.

“Para aktivis yang bersuara damai di forum nasional maupun internasional selalu dicap negatif dan disingkirkan dari proses kebijakan. Ini tidak adil dan kontraproduktif dengan semangat demokrasi,” tegas Warinussy.

Oleh karena itu, ia menyampaikan usulan konkrit kepada Presiden Prabowo Subianto agar menunjuk seorang Utusan Khusus Presiden untuk Papua. Figur ini, menurutnya, harus memiliki akses langsung ke Presiden dan juga kepada semua pihak yang terlibat dalam konflik di Papua.

Dengan pendekatan khusus dan komunikasi langsung, Utusan Khusus ini diharapkan mampu membangun jembatan dialog yang nyata. Semua inisiatif damai harus dipusatkan dan dikendalikan langsung oleh Presiden melalui utusannya, bukan lembaga sektoral yang selama ini tidak efektif.

“Jika Presiden serius ingin menyelesaikan konflik di Papua, maka ia harus berani ambil keputusan politik damai. Menunjuk Utusan Khusus adalah langkah awal yang menentukan,” tutup Warinussy.

Kini, menjelang perayaan 80 tahun kemerdekaan, publik menanti apakah pemerintah akan terus merayakan kemerdekaan dengan simbol, atau mulai memberi ruang nyata bagi perdamaianterutama di Tanah Papua, yang hingga kini masih terkungkung oleh bayang-bayang kekerasan dan ketidakadilan.

(Refly)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *