Indramayu, Suarajurnalis – Bagi gen-z, pasti tak kenal siapa Marsinah yang baru saja diangkat jadi Pahlawan Nasional oleh Prabowo. Beliau pahlawan yang memperjuangkan hak-hak buruh. Ia tewas mengenaskan. Siapa dalangnya, tidak ada yang tahu. Sekarang, namanya sejajar dengan Soeharto yang juga dinobatkan hero 2025. Now, yok kita kenalan dengan pahlawan baru kita sambil seruput Koptagul, wak!
Di zaman Soeharto ia dibunuh. Sekarang, ia sejajar dengan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. Dunia ini memang lucu, atau mungkin semesta sedang bercanda sambil menatap kita dengan senyum getir, karena akhirnya dua nama yang dulu dipisahkan darah, kini berdampingan dalam tinta penghormatan negara. Marsinah, buruh pabrik jam di Sidoarjo, yang dulu berjuang demi kenaikan upah seribu rupiah, kini diabadikan sejajar dengan penguasa yang dulu menindas suaranya. Barangkali sejarah memang pandai berputar seperti jarum jam yang dulu ia rakit tiap hari.
Marsinah lahir dari keluarga sederhana di Nganjuk. Tak ada pamor, tak ada trah biru, tak ada televisi yang meliput kelahirannya. Ia hanya perempuan biasa, tapi dengan nyali luar biasa. Dalam dirinya ada campuran getir kemiskinan dan bara keberanian. Ia bukan politisi, bukan orator, hanya buruh yang mencatat jam kerja dengan teliti. Tapi ketika haknya diinjak, ia bangkit, bukan dengan senjata, melainkan dengan kata. Ia bicara lantang, padahal zaman itu suara bisa berujung di liang lahat.
Tahun 1993, di bawah langit kelam Orde Baru, Marsinah menjadi juru bicara hati banyak buruh. Mereka hanya ingin upah naik sedikit, agar nasi di rumah tak cuma lauk garam. Tapi pabrik menolak, dan negara diam. Maka mogok kerja pun terjadi. Marsinah ikut memperjuangkan 12 tuntutan sederhana, tentang upah, cuti haid, lembur, hak manusiawi. Hal-hal kecil, tapi cukup besar untuk mengguncang kekuasaan yang alergi pada protes. Hingga akhirnya, 5 Mei 1993, beberapa buruh dipanggil ke Kodim dan dipaksa menandatangani pengunduran diri. Marsinah pergi menuntut penjelasan. Ia tidak kembali.
Tiga hari kemudian, tubuhnya ditemukan di pinggir hutan jati, penuh luka, penuh tanda tanya. Luka itu bukan hanya di tubuhnya, tapi di hati bangsa. Di situ sejarah berhenti menulis dan mulai membisu. Pelaku tidak jelas, proses hukum melingkar seperti ular yang menggigit ekornya. Marsinah lenyap, tapi namanya jadi mantra. Ia menjadi lambang tentang betapa mahal harga kejujuran di negeri yang suka menulis puisi tentang keadilan tapi takut menegakkannya.
Kini, tiga dekade kemudian, negara datang membawa piagam, menyematkan bintang di dada yang dulu ditusuk duri sejarah. Marsinah diangkat menjadi Pahlawan Nasional. Ironi? Tentu. Tapi juga keadilan yang datang dengan langkah sarkastik. Sebab siapa sangka, rezim yang dulu menekan gerakan buruh kini memuliakan buruh yang dulu mereka tekan. Soeharto dan Marsinah kini sebaris dalam daftar nama pahlawan. Seolah sejarah sedang menulis satire terbesar sepanjang masa, bahwa dalam kematian sekalipun, takdir bisa berbalik.
Tapi mari kita tak tertawa dulu. Penghormatan ini bukan sekadar penghias dinding istana. Ini seharusnya cermin bagi generasi muda. Pahlawan tidak selalu berseragam, tidak selalu punya pangkat, tidak selalu duduk di kursi kekuasaan. Kadang pahlawan adalah buruh pabrik yang mati sendirian di hutan jati. Kadang perjuangan bukan soal kemenangan, tapi tentang tidak menyerah meski tahu akan kalah.
Marsinah adalah nyanyian sunyi yang menembus zaman. Ia mungkin gugur di era Soeharto, tapi hari ini ia hidup dalam kepala setiap anak muda yang menolak tunduk. Ia bukti, waktu bisa menunda keadilan, tapi tak bisa memadamkan kebenaran. Mungkin inilah happy ending paling aneh dalam sejarah bangsa. Ketika korban dan penguasa akhirnya sejajar di buku pelajaran, dan kita, para pembaca yang terlambat sadar, akhirnya mengerti, setiap darah yang tumpah punya harga yang tak bisa dibayar dengan medali.
sumber: FB berita politik 2024
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
red: Al Aris
Mengenal Marsinah, Pahlawan Nasional yang Sejajar dengan Soeharto





