Indramayu, Suarajurnalis – Pada awal tahun 1965, di tengah belantara Sulawesi Tenggara yang lembap dan sunyi, operasi militer besar-besaran bernama Operasi Kilat digelar untuk memburu satu nama yang selama 15 tahun membuat republik tak tenang: Kahar Muzakkar, pemimpin DI/TII di Sulawesi Selatan yang kemudian mendeklarasikan Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII).
Pasukan dari berbagai kesatuan digerakkan: empat kompi Yon 330/Kujang, pasukan RPKAD, dan Kompi Raiders Hasanuddin. Di antara mereka, Peleton I/Kompi D di bawah pimpinan Peltu Umar menjadi saksi sejarah penentuan akhir hidup sang khalifah RPII itu.
Awalnya, mereka hampir menyerah. Perbekalan habis, hingga para prajurit terpaksa memakan dedaunan untuk bertahan hidup. Namun secercah harapan datang dari pengkhianatan: Letkol Kadir Junus, salah satu perwira kepercayaan Kahar, menyerahkan diri dan membocorkan lokasi persembunyian sang pemimpin di sekitar Sungai Lasolo, Kabupaten Kendari. Dari penyerbuan RPKAD di Lawate tanggal 22 Januari 1965, ditemukan surat-surat pribadi Kahar yang ditulis untuk seorang bernama Mansjur bukti bahwa ia masih berada di wilayah itu.
Hari-hari berikutnya penuh ketegangan. Pada awal Februari, Peltu Umar berhasil menangkap Menteri Kesehatan RPII bersama 144 orang pengikut. Dari merekalah diperoleh informasi terakhir tentang markas Kahar.
Dini hari 3 Februari 1965, hari yang bertepatan dengan Idulfitri, udara lembab Lasolo diselimuti kabut tebal. Dari seberang sungai, pasukan Peltu Umar melihat seseorang bersenjata menyeberang rakit menuju deretan bivak. Suara radio transistor samar-samar terdengar dari kejauhan mengalunkan lagu “Kenang-Kenangan,” lagu favorit Kahar Muzakkar.
Itu pertanda: sang buruan ada di sana.
Pukul empat pagi, pasukan menyeberang sungai dalam gelap. Mereka mengepung perlahan, menunggu cahaya pertama. Ketika beberapa orang keluar dari bivak untuk mandi di sungai, tembakan pertama meletus. Disusul rentetan senapan dari segala arah. Pertempuran hanya berlangsung lima menit lima menit yang mengakhiri pemberontakan 15 tahun lamanya.
Di antara tubuh-tubuh yang tergeletak, satu jenazah membuat pasukan terdiam. Wajahnya dikenal dari poster buronan, tetapi untuk memastikan, mereka memeriksa lebih saksama. Peluru menembus tubuhnya, dan hari itu tepat di hari suci Idulfitri Kahar Muzakkar tewas.
Jenazahnya dinaikkan ke rakit dan dibawa ke pos TNI terdekat, lalu diteruskan lewat radiogram ke Pakue, tempat Brigjen TNI M. Jusuf, Panglima Operasi Kilat, sedang merayakan Lebaran bersama pasukannya. Berita itu segera dikirim ke Letjen Achmad Yani, Menteri/Pangad, dan diteruskan ke Presiden Sukarno.
Dari sana, jenazah diterbangkan dengan helikopter Mi-4 ke Makassar. Di Bandara Hasanuddin, Achmad Yani mengutus Mayjen TNI Moersid untuk memastikan identitas sang pemberontak. Setelah melihat langsung jenazah di rumah sakit tentara, Moersid tak ragu:
> “Benar, ini Kahar Muzakkar.”
Namun, bukan wajah atau luka tembak yang menjadi bukti terkuat. Brigjen M. Jusuf menegaskan:
> “Ciri khas Kahar adalah tahi lalat, gigi emas, dan… celana dalam dengan bordiran huruf KM. Ia tidak mau memakai sembarang celana dalam, kecuali yang dibordir khusus oleh istri keempatnya.”
Pernyataan itu mengejutkan, namun justru menjadi bukti paling personal. Wartawan legendaris Boet Ph.M. Rompas diizinkan memotret jenazah Kahar termasuk foto celana dalam berinisial “KM”. Ketika kemudian beredar desas-desus bahwa Kahar masih hidup, foto itu ditunjukkan sebagai bukti tak terbantahkan bahwa sang pemberontak benar-benar telah gugur.
Sepanjang hari, masyarakat, pejabat, bahkan bekas anak buahnya datang berduyun-duyun ke rumah sakit untuk memastikan sendiri. Setelah petang, Jusuf memerintahkan pemakaman segera. Hanya segelintir orang tahu di mana makam itu berada. Rahasia itu dijaga rapat sampai akhir hayat Jusuf pada September 2004. Ia tidak pernah membuka mulut tentang lokasi peristirahatan terakhir musuh lamanya seolah mengunci misteri itu bersama jiwanya sendiri.
Demikianlah akhir dari kisah Kahar Muzakkar: pejuang yang berubah menjadi pemberontak, seorang idealis yang menempuh jalan darah demi keyakinannya. Ia gugur bukan di medan perang besar, melainkan di sunyi belantara Sulawesi ditemani suara radio kenangan dan celana dalam berinisial “KM”.
Sumber : Historia.id
red: Al Aris
Jenazah Kahar Muzakkar Dikenali Dari Celana Dalam





