Dari Wasior hingga Paniai, Deretan Kasus HAM Papua Menanti Keadilan

Manokwari, Suara Jurnalis – Kedatangan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres ke Papua New Guinea (PNG) mendapat sorotan serius dari kalangan pegiat hak asasi manusia (HAM) di Tanah Papua. Kehadiran tokoh dunia ini dinilai momentum penting untuk membuka kebenaran terkait dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua selama lebih dari lima dekade.

Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy, menyatakan fakta dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan di Papua telah lama diungkap berbagai organisasi non-pemerintah, baik lokal, nasional maupun internasional.

Bacaan Lainnya

Menurut Warinussy, aparat keamanan dan pertahanan Indonesia kerap melakukan tindakan yang termasuk dalam kategori crime against humanity. Hal ini bahkan sudah diakui secara tidak langsung oleh negara, sebagaimana tercantum dalam konsideran huruf f dan j Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.

“Dengan dasar itu, seharusnya semua pemangku kepentingan menyadari bahwa Tanah Papua telah menjadi ladang pembantaian orang asli Papua sejak 1963 hingga sekarang,” ujarnya.

Ia menyinggung momen 1969 saat diselenggarakan Act of Free Choice atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Menurutnya, sejak saat itu terjadi berbagai pembunuhan di luar proses hukum dan praktik penghilangan paksa yang menyasar masyarakat Papua.

LP3BH mencatat, di Manokwari pada 28 Juli 1969 terdapat 53 orang Papua asli yang diduga dieksekusi secara kilat. Mereka kemudian dikuburkan di sebuah lubang besar mirip “lubang buaya” di kawasan Arfay.

“Peristiwa itu hanya satu dari sekian banyak tragedi yang belum pernah diusut tuntas,” tegas Warinussy.

Rangkaian dugaan pelanggaran HAM berat terus berlanjut hingga era otonomi khusus. Kasus Wasior (2001), Wamena (2003), dan Paniai (2014) menjadi contoh nyata bagaimana kekerasan negara berulang kali menimpa orang asli Papua.

Namun, penyelesaian hukum terhadap berbagai kasus tersebut berjalan sangat lambat, bahkan nyaris stagnan. Menurut Warinussy, alasan yang digunakan pemerintah sering kali bersifat politis, sementara dari sisi hukum banyak bukti hilang seiring waktu.

Sebagai advokat dan pembela HAM, Warinussy yang pernah meraih penghargaan internasional “John Humphrey Freedom Award” tahun 2005 di Kanada, mendesak Antonio Guterres untuk mendengarkan langsung seruan korban dan keluarga korban.

Ia mengajukan tiga tuntutan utama kepada Sekjen PBB. Pertama, menerima aspirasi penyelesaian dugaan pelanggaran HAM berat di Papua sejak 1963 sebagai kasus kejahatan kemanusiaan yang berkesinambungan akibat kepentingan ekonomi dan politik penguasa.

Kedua, mengakui bahwa pelanggaran yang terjadi sebelum, saat, dan setelah Pepera 1969 adalah bentuk kejahatan kemanusiaan yang mengarah pada genosida. Karena itu, investigasi netral, adil, dan independen oleh Komisi Tinggi HAM PBB sangat mendesak dilakukan.

Ketiga, PBB perlu memfasilitasi aspirasi rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri melalui mekanisme yang transparan dan bermartabat. Langkah ini dinilai penting guna menghentikan siklus pelanggaran HAM berat yang masih terus berlanjut hingga kini.

Warinussy juga menyinggung bahwa kebijakan otonomi khusus justru memperparah penderitaan rakyat Papua asli. Mereka, yang seharusnya menjadi tuan di negerinya sendiri, kian tersisih oleh kepentingan ekonomi dan politik kelompok tertentu.

“Otonomi khusus seharusnya menghadirkan kesejahteraan, tetapi yang terjadi justru memperdalam luka lama dan membuka ruang baru bagi pelanggaran HAM,” katanya.

Sebagai advokat, Warinussy menegaskan komitmennya untuk terus memperjuangkan keadilan bagi rakyat Papua.

“Kami akan terus berjuang sampai orang asli Papua memperoleh hak-haknya, baik di dalam kerangka NKRI maupun melalui intervensi komunitas internasional,” pungkasnya.

(Refly)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *