LP3BH Nilai Pemindahan Sidang Klien di Sorong Sebagai Bentuk Diskriminasi terhadap Orang Papua

Suara Jurnalis | Manokwari – Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari menilai pemindahan sidang empat terdakwa kasus Sorong ke Makassar sebagai langkah politis dan diskriminatif. Kritik itu disampaikan Direktur Eksekutif LP3BH, Yan Christian Warinussy, yang juga menjadi koordinator tim advokat bagi para terdakwa.

Pemindahan sidang tersebut didasarkan pada Keputusan Ketua Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia Nomor: 131/KMA/SK.HK2/VII/2025 tertanggal 24 Juli 2025. Dalam keputusan itu, Pengadilan Negeri Makassar ditunjuk untuk memeriksa dan memutus perkara pidana dengan terdakwa Abraham Goram Gaman, Maksi Sangkek, Piter Robaha, dan Nixon May.

Bacaan Lainnya

Menurut Warinussy, keputusan ini tidak lahir secara netral, melainkan dipengaruhi oleh adanya usulan atau masukan dari Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kota Sorong dan Provinsi Papua Barat Daya. “Kami menduga keras keputusan tersebut lahir karena ada tekanan atau saran dari Forkopimda,” ujarnya. Senin, (25/08/2025).

Ia menilai, pejabat daerah itu tidak memahami substansi perkara. Sebaliknya, mereka cenderung memandang kliennya sebagai kelompok pemberontak bersenjata yang menentang pemerintah. “Pasti ada asosiasi pemikiran sempit yang menempelkan stigma pemberontak pada para klien kami,” tambahnya.

Padahal, kata Warinussy, empat terdakwa tersebut adalah warga sipil biasa. Mereka tidak pernah melakukan perlawanan bersenjata. “Klien kami hanya berperan sebagai pengantar surat. Mereka bukan pelaku kekerasan, apalagi pemberontakan bersenjata,” tegasnya.

Dengan fakta itu, LP3BH menilai pemindahan sidang ke Makassar berlebihan dan tidak proporsional. Selain diskriminatif, kebijakan itu juga menyulitkan keluarga terdakwa untuk mengikuti proses hukum karena keterbatasan biaya dan jarak tempuh yang sangat jauh.

Warinussy menegaskan, sidang seharusnya tetap digelar di Papua, khususnya di Sorong, agar terbuka dan dapat diakses oleh masyarakat. “Pemindahan sidang menutup akses keadilan dan hanya memperlebar jurang diskriminasi terhadap orang Papua,” katanya.

Ia menyoroti kontradiksi yang muncul dari kebijakan tersebut. Di satu sisi, Presiden Prabowo Subianto tengah mendorong pendekatan damai untuk menyelesaikan konflik sosial politik di Tanah Papua. Namun di sisi lain, pemimpin daerah justru masih menggunakan cara-cara diskriminatif.

“Ini jelas bertentangan dengan arah kebijakan Presiden. Pemimpin daerah seharusnya mendukung pendekatan damai, bukan mendorong keputusan yang makin menimbulkan ketidakpercayaan,” ujar Warinussy.

Menurutnya, pemindahan sidang ke Makassar dapat menambah luka bagi masyarakat Papua, yang selama ini seringkali merasa tidak memperoleh keadilan. “Ini menjadi bukti nyata diskriminasi yang masih berlangsung di Tanah Papua,” lanjutnya.

LP3BH mendesak Mahkamah Agung untuk meninjau ulang keputusan tersebut. Mereka menekankan pentingnya asas keadilan dan keterbukaan dalam proses peradilan, agar terdakwa tidak dirugikan hanya karena stigma dan tekanan politik.

“Pengadilan yang adil adalah hak setiap warga negara. Jangan biarkan diskriminasi semakin mengakar di bumi Cenderawasih,” pungkas Warinussy.

(Refly)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *