Indramayu, Suarajurnalis – Pondok Pesantren Buntet di Cirebon, Jawa Barat, merupakan salah satu pesantren tertua di Indonesia. Kompleks ini didirikan KH. Mukoyim pada abad ke-17.
Selanjutnya, kiprah pesantren tersebut memunculkan banyak ulama besar. Di antara mereka adalah KH. Abbas (1879-1946). Menurut buku Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat, KH. Abbas Buntet merupakan generasi keempat yang mengasuh pesantren tersebut.
Dia merupakan putra sulung KH. Abdul Jamil dan Nyai Qariah. Semasa anak-anak, dia belajar mengaji pertama-tama dari sang ayah dan KH. Kriyan Buntet. Masa remajanya tercurah untuk menimba ilmu dari pesantren ke pesantren.
Di antara guru-gurunya saat itu adalah KH. Nasuha Sukansari (Plered), KH. Hasan Jatisari (Weru), dan KH. Ubaidah (Tegal). Dia juga pernah belajar di Pesantren Tebuireng (Jombang) di bawah bimbingan KH. Hasyim Asyari. Sembari menjadi santri, dia menikah dengan seorang perempuan.
Sebagaimana generasi ulama-ulama besar Nusantara abad ke-19, dia menggunakan kesempatan beribadah haji sebagai momentum menimba ilmu. Teman-teman seangkatannya dari Indonesia adalah KH. Baqir (Yogyakarta), KH. Abdillah, dan KH. Wahab Hasbullah (Surabaya).
Di Masjid al-Haram, dia berguru pada antara lain Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Ahmad Zubaidi, dan Syekh Mahfudh at-Termasi. Dia termasuk pembelajar yang cemerlang. Hal itu ditunjang pula dengan fakta, ketika masih di Tanah Air, dia telah menjadi santri senior.
Di Makkah, kala waktu senggangnya dia membimbing beberapa kawan sesama pelajar Jawi. Di antara mereka yang pernah dibimbing KH. Abbas adalah KH. Kholil (Balerante) dan KH. Sulaeman Babakan (Ciwaringin).
Pulang dari Tanah Suci, KH. Abbas semakin dihormati masyarakat. Dia pun tidak putus melanjutkan menuntut ilmu, seperti di Pesantren Tebuireng yang diasuh KH. Hasyim Asyarie. Pada saat itu, dia ikut mendirikan Pondok Pesantren Lirboyo di Kediri bersama dengan KH. Wahab Hasbullah dan KH. Manaf.
Selanjutnya, KH. Abbas mulai memegang tampuk pimpinan Pondok Pesantren Buntet di kampung halamannya. Dia mengajak seluruh anggota keluarga besarnya untuk ikut membangun lembaga ini, terutama sebagai pengajar. Santri-santrinya berasal dari berbagai penjuru daerah.
Ciri khas Pesantren Buntut juga menjadi acuan bagi pengembangan ilmu-ilmu agama Islam, khususnya tasawuf. Di sini, demikian menurut Saifullah (2008), ada dua tarekat yang berkembang, yakni Tijaniyah yang disebarkan KH. Anas Buntet dan Syatariyah yang diajarkan KH. Abbas. Sosok yang pertama itu merupakan adik kandung KH. Abbas.
Bagaimanapun, kedua cabang tasawuf itu sama-sama diakui sebagai bagian dari tradisi pesantren tersebut. Bahkan, kedudukan KH. Abbas tergolong istimewa. Sebab, dia merupakan mursyid tarekat Syatariyah dan sekaligus muqoddam tarekat Tijaniyah. Hal ini menandakan luasnya pengetahuan dan corak pemikiran sang kiai yang terbuka sekaligus kritis. Demikian hasil riset Yuli Yulianti dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2014).
Selain itu, KH. Abbas juga menjadikan Pesantren Buntet lebih maju. Dia menerapkan dua metode pengajaran, yaitu cara formal berupa madrasah dan pola-pola tradisional.
Dualisme sistem ini mulai efektif menjelang 1930. Di luar pendidikan, KH. Abbas juga menjadikan pesantren ini wahana peningkatan kesejahteraan masyarakat. Para santri diajarkan keterampilan berwirausaha, semisal membatik atau teknik pertanian. Seperti ditunjukkan M Rizki Tadarus dalam risetnya untuk UIN Sunan Kalijaga (2016), sang kiai juga membuat dapur umum untuk keperluan warga sekitar.
Di luar ilmu-ilmu agama, KH. Abbas juga mengajarkan seni bela diri kepada mereka. Hal ini kelak menjadi modal penting bagi para santri untuk ikut mempertahankan kemerdekaan negeri dari penjajah.
Pondok Pesantren Buntet pun menjadi basis penting laskar-laskar jihad, semisal barisan Hizbullah, Sabilillah, atau PETA (Pembela Tanah Air), terutama ketika era setelah Proklamasi 1945. Di luar itu, dia juga membentuk dua regu laskar santri, yakni Asybal dan Athfal.
KH. Abbas Buntet dikenal luas sebagai pejuang yang berani. Pada zaman revolusi, Belanda (NICA) yang membonceng Sekutu ingin menjajah kembali Indonesia.
Sementara itu, laskar-laskar Indonesia sibuk melucuti persenjataan Jepang sebagai persiapan tempur. Di Surabaya, Sekutu semakin arogan dengan memaksa penduduk untuk menyerahkan senjata dan menyerah di tempat. Ultimatum ini ditolak mentah-mentah rakyat seluruhnya. Mereka lebih memilih mati berjuang daripada ditindas kembali.
Menjelang pertempuran 10 November 1945 itu, di Cirebon KH. Abbas juga sudah mulai memobilisasi massa, terutama dari kalangan santri. Dia memberikan komando untuk ikut dalam barisan perjuangan rakyat Indonesia di Surabaya. Dia sendiri ikut terjun dalam kancah perang besar ini. Orator ulung, Bung Tomo, bisa dikatakan anak didiknya dalam semangat perjuangan.
Ditilik ke belakang, peristiwa historis tersebut merupakan efek dari Resolusi Jihad yang digagas para kiai sebelumnya dalam pertemuan Nahdlatul Ulama di Surabaya, pada Oktober 1945. KH. Abbas juga turut menghadiri acara yang merumuskan fatwa jihad tersebut.
Setelah Indonesia mendapatkan pengakuan kedaulatan, Munawir Aziz menjelaskan, KH. Abbas masuk ke dalam dunia politik. Pertama-tama, dia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), yang setara dengan parlemen kini. Dia mewakili konstituen Jawa Barat.
Adapun di lingkungan organisasi, KH. Abbas turut aktif dalam Nahdlatul Ulama (NU). Di sini, jabatannya adalah anggota Dewan Mustasyar Pusat dan kemudian Rais A’am Dewan Syuriah NU Provinsi Jawa Barat.
KH. Abbas wafat pada tahun 1946. Jasadnya dikebumikan di komplek permakaman keluarga di Pondok Pesantren Buntet, Cirebon.
Sepanjang hayatnya, almarhum memiliki dua orang istri, yakni Nyai Asiah dan Nyai Zaenah. Anak-anaknya adalah KH. Mustahdi, KH. Mustamid, KH. Abdullah, dan KH. Nahduddin Royandi.
Periode setelahnya wafatnya KH. Abbas, kepemimpinan Pondok Pesantren Buntet dipegang KH. Mustahdi. Sosok ini pernah belajar antara lain pada KH. Amin (Babakan Ciwaringin), KH. Dimyati (Termas), KH. Hasyim Asy’ari (Tebuireng), dan KH. Abdul Manan (Lirboyo).
Setelah KH. Mustahdi berpulang ke rahmatullah, tampuk kepemimpinan pesantren ini berturut-turut diberikan kepada (alm) KH. Mustamid, (alm) KH. Abdullah, dan KH. Nahduddin Royandi (sejak 2008)
Referensi NU Online
red: Al Aris
KH. Abbas Abdul Jamil dari Ponpes Buntet
