Jayapura — Papua adalah rumah bagi keragaman yang luar biasa. Dari Pegunungan Tengah hingga pesisir Teluk Cenderawasih, kita menyaksikan harmoni antara ratusan suku, puluhan bahasa daerah, serta komunitas lintas agama dan budaya. Namun sayangnya, dalam dinamika politik Papua saat ini—terutama menjelang Pemungutan Suara Ulang (PSU) di beberapa daerah—keragaman yang seharusnya dirawat bersama justru dijadikan alat politik praktis.
Fenomena ini terlihat dari semakin maraknya politisasi isu agama dan klaim wilayah adat dalam kampanye politik. Isu-isu sensitif ini digunakan bukan untuk membangun kesadaran kolektif, melainkan memecah belah masyarakat. Politik identitas telah menjadi senjata untuk memobilisasi massa dan menyingkirkan lawan politik, bukan untuk menghadirkan solusi atas masalah rakyat Papua.
Hukum Melarang Politisasi SARA
Penting untuk mengingatkan kembali bahwa konstitusi kita secara tegas melarang penggunaan isu SARA dalam politik.
UUD 1945 Pasal 28E Ayat (1-2) menjamin hak setiap orang untuk memeluk agama dan menyatakan pendapat tanpa tekanan atau intimidasi.
UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu melarang kampanye yang menggunakan unsur Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) dalam Pasal 280 ayat (1) huruf c dan d.
UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua mendorong penghormatan terhadap adat, bukan menjadikannya alat untuk meraih kekuasaan.
Mengapa Ini Berbahaya?
1. Memecah Persatuan Masyarakat
Politisasi agama dan adat menciptakan sekat-sekat primordial dalam masyarakat, memecah belah masyarakat atas dasar identitas, bukan gagasan.
2. Melahirkan Diskriminasi Terselubung
Warga Papua dari suku atau agama minoritas rentan terpinggirkan dalam proses politik, ekonomi, bahkan pelayanan publik.
3. Merusak Demokrasi Substantif
Kontestasi politik berubah menjadi adu sentimen, bukan adu visi dan program. Akibatnya, kualitas kepemimpinan menurun drastis.
4. Menjadi Pemicu Konflik Horizontal
Polarisasi yang terus dipelihara dapat berubah menjadi konflik terbuka antar kelompok masyarakat.
Contoh Nyata di Papua dan Luar Daerah
Isu “Babi Hutan” dalam PSU Papua
Sebutan ini terhadap salah satu kandidat bukan hanya mencerminkan penghinaan, tetapi juga menyulut konflik antar komunitas wilayah Tabi dan Saireri, serta mengandung sentimen keagamaan. Ini mencoreng nilai-nilai demokrasi dan memperparah ketegangan sosial.
Pilkada Jakarta 2017
Meski bukan di Papua, Pilkada ini menjadi preseden buruk. Polarisasi berbasis agama yang muncul kala itu masih meninggalkan trauma sosial hingga kini. Jika pola serupa ditiru di Papua, hasilnya bisa jauh lebih destruktif.
Penolakan DOB Berbasis Klaim Adat
Klaim wilayah adat digunakan segelintir elite untuk menolak Daerah Otonomi Baru (DOB), bukan karena kepentingan masyarakat adat, tapi demi menjaga dominasi politik lokal. Ini menimbulkan kecurigaan antara kelompok pesisir dan pegunungan.
Solusi: Kembalikan Politik pada Jalan Sehat
1. Edukasi Politik dan Hukum untuk Masyarakat
Rakyat perlu disadarkan bahwa politik berbasis identitas ekstrem hanya akan membawa keterbelakangan, bukan kemajuan.
2. Prioritaskan Gagasan, Bukan Identitas
Para calon pemimpin seharusnya berbicara soal pendidikan, ekonomi kerakyatan, infrastruktur, dan pelayanan publik—bukan soal asal suku atau agama.
3. Tokoh Adat dan Agama Harus Jadi Perekat
Jangan terlibat dalam kontestasi praktis. Jadilah penjaga perdamaian dan juru damai antar komunitas, bukan alat pemenangan politik.
Papua tidak membutuhkan pemimpin yang menjual simbol agama atau mengeksploitasi nama adat demi kekuasaan. Papua butuh pemimpin yang mengangkat martabat semua anak Papua, tanpa melihat suku, agama, atau latar belakang sosial. Politik identitas adalah jalan sempit yang hanya menimbulkan luka dan keterbelakangan.
Mari kita bangun Papua di atas persatuan, keadilan sosial, dan penghargaan atas perbedaan.
“Papua tidak butuh pemimpin yang memperalat agama dan adat, tetapi pemimpin yang memuliakan semua anak Papua.”
Soli Deo Gloria, Tuhan Yesus Memberkati Tanah Papua. **
Oleh : Victor Buefar (Pemuda Papua)