Suara Jurnalis | Manokwari – Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari melalui Direktur Eksekutifnya, Yan Christian Warinussy, mendesak Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, untuk segera menghentikan operasi keamanan bernama Operasi Damai Cartenz yang saat ini berlangsung di wilayah Pegunungan Papua dan Papua Tengah. Senin, (23/06/2025).
Warinussy menegaskan bahwa dua wilayah tersebut kini telah menjadi Daerah Otonom Baru (DOB) dengan nama Provinsi Papua Tengah dan Provinsi Papua Pegunungan, sehingga pendekatan keamanan militeristik semestinya digantikan dengan pendekatan pembangunan dan dialog damai.
Menurut LP3BH, pihaknya telah menerima berbagai laporan dari mitra organisasi masyarakat sipil (OMS) di wilayah tersebut terkait dampak negatif dari operasi keamanan yang justru kerap menyasar wilayah permukiman penduduk sipil. Operasi ini dilaporkan mengakibatkan ketakutan luas dan pelanggaran terhadap hak-hak sipil warga.
Dalam kasus terbaru, seorang warga sipil bernama Mesak Apisalel (45) dilaporkan tewas dalam insiden tembak-menembak antara aparat TNI dan anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) yang terjadi di Kampung Anali, Desa Yeleas, Distrik Tangma, Kabupaten Yahukimo, pada Minggu, 15 Juni 2025 lalu.
Pasca insiden tersebut, sekitar 600 warga sipil dilaporkan mengungsi ke wilayah hutan karena trauma dan ketakutan. Mereka khawatir menjadi korban berikutnya dalam operasi militer yang disebut “damai” namun berdampak destruktif terhadap masyarakat sipil.
Salah satu pemicu ketegangan di wilayah tersebut adalah penangkapan dua warga sipil tak bersenjata, yakni Orgen Elopere (17) dan Sisi Yelemaken (25), oleh personel TNI di Pos Penjagaan Ongolo. Keduanya diduga ditangkap tanpa proses hukum yang sah dan ditahan sejak 13 hingga 16 Juni 2025.
LP3BH menyampaikan bahwa penangkapan tersebut diduga kuat melanggar hukum acara pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Lebih dari itu, kedua pemuda tersebut dilaporkan mengalami penyiksaan selama dalam tahanan.
“Tindakan seperti ini tidak bisa dibiarkan dan harus segera diselidiki. Ini adalah dugaan pelanggaran HAM yang serius,” ujar Warinussy. Ia menilai bahwa tindakan aparat di lapangan tidak mencerminkan prinsip perlindungan hak asasi manusia sebagaimana dijamin dalam konstitusi.
Atas dasar itu, LP3BH mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia untuk segera melakukan investigasi mendalam terhadap dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi di Distrik Tangma, Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua Pegunungan.
Sebagai lembaga advokasi hukum dan HAM di Tanah Papua, LP3BH menegaskan bahwa operasi keamanan dengan pendekatan militer tidak akan menyelesaikan akar konflik di Papua. Yang terjadi justru sebaliknya: menciptakan trauma berkepanjangan bagi masyarakat sipil.
Warinussy kembali menyerukan kepada Presiden Prabowo agar segera mengambil langkah demiliterisasi di seluruh Tanah Papua, terutama di Provinsi Papua Pegunungan dan Papua Tengah, demi menjamin perlindungan terhadap hak-hak dasar Orang Asli Papua (OAP).
“Sudah saatnya pendekatan berbasis HAM dan dialog dikedepankan. Presiden sebagai kepala negara memiliki tanggung jawab konstitusional untuk menjamin keamanan, keadilan, dan martabat setiap warga negaranya, termasuk rakyat Papua,” tutup Warinussy.
(Refly)