Keerom, Suarajurnalis.online.com – Momentum bersejarah terjadi di Distrik Arso, Kabupaten Keerom, Papua, Sabtu (3/5/2025). Suku Ewir Bewangkir secara resmi menyerahkan surat pelepasan tanah adat kepada warga tani Kampung Baru Kriku dalam sebuah upacara terbuka yang sarat makna dan semangat persaudaraan.
Meski proses pelepasan hukum telah dilaksanakan pada 5 April 2025, seremoni kali ini digelar untuk memberikan kejelasan publik dan memperkuat ikatan sosial antara warga lama dan pendatang.
Acara dihadiri oleh tokoh-tokoh adat Suku Ewir Bewangkir, tokoh masyarakat, aparat TNI-Polri, perwakilan BPN Kabupaten Keerom, serta ratusan warga. Momen ini dinilai menjadi tonggak penting dalam pembangunan kawasan perbatasan Papua-Papua Nugini.
Ketua Panitia Acara, I Gede Eka Sedana Nirahuwa, mengatakan bahwa kegiatan ini merupakan bentuk transparansi kepada masyarakat terkait status lahan, sekaligus mempererat hubungan antarwarga.
“Tujuan utama kami adalah memperjelas status lahan ini secara terbuka dan memperkuat kebersamaan antara warga Kampung Baru Kriku dan kampung-kampung tetangga. Kami ingin membangun wilayah ini secara damai dan berkelanjutan,” ujarnya.
Ia juga menambahkan bahwa pelepasan tanah ini menjadi titik awal untuk membangun komitmen bersama dalam menjaga kedamaian, ketertiban, serta pelestarian lingkungan di kawasan Kriku dan Skofro.
Ketua DPD Serikat Petani Indonesia Provinsi Papua, Saharuddin, menyebut penyerahan tanah kepada petani adalah langkah luar biasa dan menjadi preseden positif di wilayah perbatasan.
“Ini berbeda dari biasanya. Tanah adat tidak diserahkan ke korporasi besar, tapi kepada masyarakat petani yang akan membangunnya bersama masyarakat adat,” tegas Saharuddin.
Menurutnya, legalitas yang jelas atas lahan ini memungkinkan petani untuk mengakses dukungan program pemerintah, yang selama ini terkendala akibat status tanah yang tidak pasti.
“Dengan legalitas ini, tanah adat tidak hanya dijaga, tapi menjadi sumber kesejahteraan. Kita ingin masyarakat adat menjadi tuan di tanahnya sendiri,” ujarnya.
Perwakilan Keret Ewir Bewangkir, Martinus Bewangkir, menjelaskan bahwa penyerahan tanah ini telah melalui proses panjang sejak 2016 dan merupakan bagian dari strategi jangka panjang pembangunan ekonomi dan ketahanan pangan.
“Kami butuh mitra untuk kelola lahan ini. Warga Nusantara yang sudah lama tinggal di Papua kami libatkan untuk membangun bersama,” kata Martinus.
Ia menegaskan bahwa kolaborasi ini tidak memandang suku atau agama, melainkan bertumpu pada nilai persatuan, kejujuran, dan kedamaian. Ia berharap, hasil dari lahan ini dapat menopang pendidikan dan kesejahteraan anak-anak di kawasan perbatasan.
Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Kampung Baru Kriku, Obet Isak, mengungkapkan bahwa mereka telah mengelola lahan secara mandiri dan tertib. Setiap keluarga mendapatkan satu hektare sawah untuk dikelola.
“Target kami membangun kampung mandiri. Bahkan kami telah membangun jalan sepanjang 5.200 meter secara swadaya,” kata Obet.
Ia berharap pemerintah daerah maupun pusat memberikan perhatian lebih kepada masyarakat petani di daerah terluar tersebut.
“Kami hanya minta bantuan untuk pembukaan lahan sawah. Kami siap bekerja, tapi keterbatasan alat dan anggaran menjadi kendala utama,” ungkapnya.
Sekretaris Gapoktan, Andarian Pisa, menambahkan bahwa semangat swadaya tidak akan padam. Ia berkomitmen melanjutkan pembangunan pertanian sebagai pilar utama ekonomi lokal.
“Kami sudah mulai dari nol. Kini saatnya pemerintah melihat dan mendukung langkah kami,” tegasnya.
Pelepasan tanah adat ini menjadi simbol kemitraan strategis antara masyarakat adat dan petani pendatang dalam membangun wilayah perbatasan sebagai beranda depan Republik Indonesia. Dengan kolaborasi ini, cita-cita mewujudkan kawasan mandiri, damai, dan sejahtera bukan lagi sekadar harapan.(Redaksi/MR)