Indramayu, Suarajurnalis – Tulisan ini sangat menarik untuk dicerna, direnungi akan gemerlapnya dunia dan kembali ke kampung keabadian. Ditulis oleh seorang kiyai kampung tapi bukan kampungan, beliau aktivis NU, pemerhati ke-NU-an, dan salah satu muharrik di era modern.
Kita warga NU banyak diwarisi ragam pustaka bahkan ragam peristiwa yang menulis hikayat orang-orang pilihan sebagai bekal literasi dan teladan bagi kita agar berjalan mulus meniti jalan transenden menuju kampung keabadian.
Ada dua hal pokok yang sering menjadikan manusia seolah terhijab meniti jalan terang menuju kampung keabadian.
Pertama, yaitu oleh pesona gemerlap dunia dengan aneka ragam fantasi yang menawarkan kelezatan.
Kedua, ialah oleh beban ujian yang dipikul manusia untuk melewati alamat kembali yang dianggap berat dan panjang juga merupakan persoalan tersendiri, sehingga manusia kehilangan batu pijakan untuk meniti jalan pulang.
Padahal dua hal diatas sengaja disodorkan Sang Robbul ‘alamin sebagai media bagi manusia untuk memproses dirinya agar manusia tampil sebagai pribadi yang tangguh serta berderajat tinggi, karena manusialah makhluk satu-satunya yang diberi ruang untuk meraih itu oleh Allah SWT.
KH. A. Musthofa Bisri yang sering kita sebut dengan Gus Mus.
Menawarkan jalan mulus pulang menuju kampung keabadian melalui dua jalur yaitu :
Pertama, melalui kajian literasi kitab Kimiya’us sa’dah karya Hujjatul Islam Al Ghazali, yang oleh Gus Mus karya Al Ghazali itu diterjemahkan sebagai *PROSES KEBAHAGIAAN*.
Al Ghazali tampaknya memberikan kiat-kiat sukses kebahagiaan itu sejak dini didunia ini dalam kitabnya itu, karena bukankah Allah SWT sendiri memerintahkan untuk meraihnya bahkan Allah sendiri yang merangkaikan redaksi kalimat doa untuk kita panjatkan kehadirat-Nya. Yaitu Robbana atina fiddunya Hasanah wafil akhiroti Hasanah waqina’adabannar.
Melalui buku karya Gus Mus *PROSES KEBAHAGIAAN* mengaji kitab KIMIYA’US SA’DAH oleh Al Ghazali.
Tampaknya Gus Mus mengajak kita warga NU untuk meningkatkan minat baca kita, begitu juga bagi keluarga kita.
Tujuannya jelas agar warga NU terus memposisikan diri mengambil posisi sebagai bagian dari tujuan kelahiran NU mencerdaskan umat menuju kebahagiaan hakiki.
Kedua, Gus Mus banyak menampilkan ulasan, berupa catatan kaki atas karya Al Ghazali itu. Dengan mengetengahkan tentang kisah-kisah keteladanan yang mencerahkan dan sangat menggugah hati, yakni para kekasih Allah yang telah meraih puncak kebahagiaan disini didunia fana dan bahkan tentu saja diakhirat kelak.
Seperti kisah maestro cinta Ilahi Robi’ah Al adawiyah, seorang Arif Billah Makruf Al karkhi, Abu Yazid albustami, dll.
Bahkan secara spesifik Gus Mus menuliskan gema cinta sang maestro cinta Ilahi Robi’ah Al adawiyah melalui syairnya :
“Aku mencintai-Mu
dengandua cinta
Cinta birahi dan
cinta karena Kau
Memang seharusnya dicinta
Cinta birahiku
adalah asyikku
Menyebut dan mengingatku semata
Tiada lainnya Cintaku
yang karena seharusnya Kau di Cinta
Adalah penyingkapan-Mu
akan tabir
Untukku melihatku
Maka tiada pujian untukku pada keduanya
Tapi hanya bagi-Mu sendiri
Segala puji pada keduanya”
Sekali lagi kita warga NU diberikan warisan berupa literasi dan kisah-kisah teladan oleh pendahulu kita demikian banyak. Tinggal bagaimana kita memanfaatkan warisan sebaik-baiknya.
Kita tidak perlu melewati negeri sebrang menuju kampung keabadian cukup belajar di pondok-pondok NU jika terkendala keterbatan akomodasi. Polemik nasab yang fenomenal saat ini telah membangunkan tidur pulas kita betapa minat baca pada masyarakat kita masih merupakan masalah utama.
Wallahu a’lam.
*) seorang pengasuh majelis taklim, aktivis NU
red: Al Aris