Jambi,- Kota Jambi kini dihadapkan pada fenomena yang semakin mengkhawatirkan: para debt collector yang bertindak layaknya preman berkedok legalitas. Keberadaan mereka tidak lagi sekadar menjalankan tugas penagihan, namun telah berubah menjadi bentuk intimidasi, kekerasan, dan ancaman yang nyata terhadap warga Kota Jambi. Peristiwa pengeroyokan yang terjadi di kantor ACC Jambi baru-baru ini menjadi puncak dari arogansi para debt collector ini. Kamis, 03 Oktober 2024.
Sekjen AWaSI Jambi, Andrew Sihite, ditemani Pjs. Ketum AWaSI Jambi, Kang Maman, mendampingi salah satu anggota AWaSI Jambi, Emon Jarahwan, ke kantor ACC Jambi untuk mempertanyakan proses penagihan oleh debt collector bernama Dicky Suryadi. Dalam pertemuan tersebut, Emon telah menunjukkan iktikad baik dengan membawa uang sebesar Rp. 5.960.000 untuk membayar tunggakan cicilan kendaraan dan meminta penghapusan biaya penarikan sebesar Rp. 4.000.000, yang dianggap memberatkan.
Namun, pihak ACC dan para debt collector justru bersikap arogan dan menolak untuk mendiskusikan permintaan tersebut. “Mereka tidak hanya menolak, tetapi bahkan menggunakan cara-cara yang kasar dan penuh ancaman. Bahkan, mereka melancarkan aksi kekerasan fisik kepada Andrew Sihite dan mengancam keselamatan kami semua,” ungkap Emon dengan nada geram.
Pengeroyokan dan Ancaman Terhadap Jurnalis: Debt Collector Bukan Lagi Penagih, Melainkan Preman!
Insiden ini menjadi sangat serius ketika terjadi pengeroyokan di lantai 2 kantor ACC oleh debt collector yang bertindak atas nama PT. Stacomitra Graha, yaitu Dicky Suryadi, Rangga, dan Apek. Ketiganya tidak hanya melakukan tindakan kekerasan fisik terhadap Sekjen AWaSI Jambi, Andrew Sihite, tetapi juga mengeluarkan ancaman pembunuhan. “Kami bahkan diancam akan dihabisi, ini bukan lagi sekadar penagihan, tetapi sudah seperti premanisme dengan kedok legalitas,” ujar Andrew Sihite.
Surat Penarikan dan Biaya Tarik yang Merugikan Konsumen
Dalam pembicaraan tersebut, Kang Maman, Pjs. Ketum AWaSI Jambi, menyoroti kejanggalan dalam proses penagihan. “Ini menjadi pertanyaan besar, kenapa baru keterlambatan 39 hari saja sudah dikeluarkan surat penarikan dan langsung menetapkan biaya tarik sebesar Rp. 4.000.000? Bukankah konsumen memiliki hak untuk diberikan kesempatan menyelesaikan kewajiban mereka terlebih dahulu? Apalagi, klien kami, Saudara Emon, jelas masih menunjukkan iktikad baik dengan datang dan membawa uang untuk melunasi tunggakan pokok,” tegas Kang Maman.
Kang Maman menambahkan bahwa tindakan ini tidak hanya memberatkan konsumen tetapi juga melanggar prinsip penagihan yang seharusnya dilakukan dengan etika. “Penagihan seperti ini jelas melanggar Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 35/POJK.05/2018. Tidak bisa seenaknya menetapkan biaya tarik begitu saja tanpa pertimbangan yang jelas dan etis,” lanjut Kang Maman.
Keberanian debt collector untuk melakukan pengeroyokan dan ancaman pembunuhan di kantor lembaga keuangan besar menunjukkan bahwa perilaku mereka semakin di luar kendali. Tidak ada lagi etika dan aturan hukum yang dipatuhi. Dengan ancaman verbal dan kekerasan fisik, debt collector ini menginjak-injak hak warga dan menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat.
Debt Collector Bertindak di Luar Aturan Hukum: Kapan Aparat Menindak?
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 35/POJK.05/2018 telah mengatur dengan jelas bahwa penagihan oleh perusahaan pembiayaan harus dilakukan dengan cara yang etis dan tanpa intimidasi. Namun, yang terjadi di Jambi justru sebaliknya. Para debt collector ini bertindak seolah-olah di atas hukum, melakukan penagihan dengan ancaman dan kekerasan.
Pertanyaannya adalah, sampai kapan aparat keamanan, khususnya pihak kepolisian, akan membiarkan praktik-praktik premanisme ini? Kota Jambi membutuhkan kepastian hukum dan perlindungan dari tindakan ilegal para debt collector yang telah melampaui batas ini.
“Kami meminta dengan tegas agar pihak kepolisian segera menindak para debt collector yang telah melakukan tindakan melawan hukum. Mereka bukan hanya melakukan pelanggaran etika penagihan, tetapi juga melakukan tindak pidana penganiayaan, pemerasan, dan ancaman,” tegas Kang Maman.
Hentikan Teror Debt Collector! Masyarakat Jambi Butuh Perlindungan
Peristiwa ini hanyalah salah satu contoh dari banyak kasus intimidasi dan kekerasan oleh debt collector di Kota Jambi. Masyarakat berhak mendapatkan perlindungan dan penagihan yang dilakukan dengan cara yang sesuai hukum, bukan melalui cara-cara kekerasan dan ancaman.
“Jika dibiarkan, mereka akan terus bertindak sewenang-wenang, menghantui warga Jambi dengan teror dan ancaman. Kami tidak akan tinggal diam. Kami akan melanjutkan laporan ke pihak kepolisian dan Otoritas Jasa Keuangan untuk menuntut tindakan tegas terhadap para debt collector ini,” lanjut Andrew Sihite dengan nada tegas.
Desakan kepada Kepolisian untuk Bertindak
AWaSI Jambi mendesak POLDA Jambi untuk segera mengusut kasus ini dan menangkap para pelaku, termasuk Dicky Suryadi dan rekan-rekannya. Pihak ACC juga harus dimintai pertanggungjawaban atas cara-cara tidak etis yang digunakan oleh pihak ketiga yang mereka tunjuk. Jangan sampai masyarakat Jambi merasa bahwa tidak ada perlindungan hukum yang dapat melindungi mereka dari aksi premanisme berkedok legalitas ini.
Hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak boleh tunduk pada tindakan intimidasi dan kekerasan oleh pihak yang mengatasnamakan penagihan. Jika dibiarkan, tindakan ini akan menjadi preseden buruk dan semakin memperparah situasi keamanan di Kota Jambi.
“Kami berharap aparat hukum segera bertindak tegas. Jangan biarkan debt collector menjelma menjadi preman yang meresahkan masyarakat. Ini adalah ujian bagi penegakan hukum di Kota Jambi,” tutup Kang Maman. (AWaSI-Team)
AWaSI Jambi akan terus memantau perkembangan kasus ini dan siap mengambil langkah hukum lebih lanjut untuk memastikan bahwa para pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal, serta memberikan rasa aman bagi warga Kota Jambi dari aksi premanisme berkedok legalitas.