Suara Jurnalis| Manokwari – Kasus intimidasi terhadap aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) masih menjadi perhatian serius di Indonesia. Aktivis HAM sering kali menghadapi berbagai bentuk tekanan dan ancaman dalam menjalankan tugas mereka untuk membela hak-hak asasi manusia dan memperjuangkan keadilan.
Banyak aktivis yang mendapatkan ancaman kekerasan fisik, baik langsung maupun tidak langsung. Ancaman ini bisa datang dari pihak-pihak yang merasa terancam oleh aktivitas mereka.
Aktivis seringkali mengalami pengawasan yang berlebihan oleh pihak berwenang atau pihak yang berkepentingan, yang bertujuan untuk mengintimidasi atau membatasi gerak mereka.
Aktivis kerap menghadapi tuntutan hukum yang dipaksakan atau tidak berdasar sebagai upaya untuk menghalangi kegiatan mereka.
Aktivis seringkali distigmatisasi sebagai pengganggu atau dianggap mengancam stabilitas negara, yang bertujuan untuk mendiskreditkan upaya mereka.
Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa masih banyak tantangan yang harus dihadapi oleh para pejuang HAM di Indonesia. Dukungan dari masyarakat, media, dan lembaga internasional sangat penting untuk melindungi mereka yang berjuang demi keadilan dan kebenaran. Selain itu, perlindungan hukum yang lebih kuat dan implementasi kebijakan yang efektif juga diperlukan untuk memastikan keselamatan dan kebebasan bagi para aktivis HAM.
Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy SH menyesalkan sikap dan perilaku para pemangku kepentingan (stakeholder) keamanan dan pertahanan negara di Maybrat yang seakan sedang melakukan langkah “intimidasi” psikis terhadap aktivis hak asasi manusia (HAM) Lamberti Faan pada tanggal 25, 26 dan 27 Juni 2024 yang baru lalu.
Hal tersebut disampaikan Yan Christian Warinussy kepada media melalui pesan tertulis. Sabtu, (03/08/2024).
Rupanya Faan yang adalah seorang aktivis HAM Papua dan Pengungsi Internal dari Kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Barat Daya dan rekannya mengalami intimidasi setelah memberikan kesaksian (testimoni) di sidang reguler ke-56 Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa (United Nations Human Rights Council/UNHRC).
“Dalam pernyataan (statement) nya, Faan dan rekannya menyoroti kondisi para pengungsi internal di Kabupaten Maybrat. Sejak menyampaikan statement tersebut, Faan dan keluarga mengalami pengintaian dan ancaman, sehingga menciptakan iklim ketakutan dan ketidakamanan, ” kata Warinussy.
Selanjutnya, ucap Warinussy, sesuai Laporan Human Rights Monitor bahwa pada hari Selasa, 25 Juni 2024 Kapolres Maybrat menghubungi saudara laki-laki Faan melalui telepon seluler untuk menanyakan keberadaan Faan. Kemudian ada hari Rabu, 26 Juni 2024 Kakak Faan menerima telpon dari Dandim Maybrat yang juga menanyakan Faan.
“Serangkaian tindakan dari para pemangku kepentingan (stakeholder) seperti Kapolres Maybrat dan Dandim Maybrat terhadap Faan dan keluarganya tersebut sesungguhnya sudah bersifat upaya nyata untuk mengintimidasi secara psikis terhadap Faan sebagai salah satu aktivis HAM (Human Rights Defender) asli Papua, ” pungkasnya.
(Refly)