Suara Jurnalis | Manokwari – Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua memang memberikan ketentuan bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur Papua harus berasal dari orang asli Papua. Ini adalah salah satu upaya untuk memastikan partisipasi dan representasi yang lebih baik bagi masyarakat Papua dalam pemerintahan daerah mereka.
Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif LP3BH Yan Christian Warinussy SH kepada wartawan melalui pesan WhatsApp. Minggu (31/03/2024).
“Sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari serta selaku Tenaga Ahli Khusus Ketua Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB), saya ingin memberi catatan hukum kepada semua pihak yang hendak ber kontestasi dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) di Tanah Papua November 2024 mendatang, ” katanya.
Menurutnya bahwa, amanat pasal 12 dari Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua jelas menyatakan pada huruf a, bahwa yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur adalah Warga Negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat: a.Orang Asli Papua (OAP).
Aturan tersebut mengacu pada Undang – Undang Otonomi Khusus Papua yang menetapkan bahwa Gubernur Papua harus berasal dari suku asli Papua. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan representasi dan partisipasi masyarakat Papua dalam pemerintahan daerah mereka.
Sesuai dengan pasal 12 dari Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus untuk Propinsi Papua yang berhak menjadi Gubernur maupun Wakil Gubernur harus Orang Asli Papua
“Penjelasan pasal 12 ini menyatakan cukup jelas.itu artinya bahwa secara hukum yang dapat diajukan dan atau mengajukan dirinya sebagai calon Gubernur dan atau Wakil Gubernur di Tanah Papua adalah OAP. Yaitu mereka yang disebut sebagai OAP adalah yang bapa atau mamanya adalah OAP atau Bapaknya OAP, ” ucapnya.
Pengertian hukumnya juga dijelaskan dalam Pasal 1 huruf t yang berbunyi “Orang Asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku – suku asli di Provinsi Papua (termasuk Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Pegunungan, Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua Barat Daya), dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai OAP oleh masyarakat adat Papua.
“Pengertian hukumnya, menurut pandangan saya bagian kedua dari Pasal 1 huruf t tersebut sesungguhnya memberi ruang bagi anak anak yang secara genealogis “mengandung” aliran darah dari OAP misalnya mamanya asli Papua. Serta pula bagi mereka yang secara adat diatur menurut mekanisme hukum adat tiap suku asli di Tanah Papua. Sehingga mereka bisa memakai marga orang asli Papua pada identitas dirinya.
Namun perlu diingat bahwa mereka ini juga mesti tahu diri bahwa mereka senantiasa bisa melangkah memakai identitas marga asli Papua atas persetujuan dan sepengetahuan serta seijin orang tua atau leluhurnya. Sehingga tidak boleh bersifat “rakus” atau tidak menghormati si empunya hak aslinya, yaitu paman/om/orang tua mereka yang memberi nama marganya melekat pada identitas jati diri mereka, ” jelasnya.
Ia juga menambahkan, agar mempertimbangkan terkait Cagub dan Cawagub di tanah Papua.
“Sebagai Tenaga Ahli Khusus Ketua MRPB, saya ingin mengingatkan MRPB sebagai institusi negara Republik Indonesia (RI) yang memiliki wewenang memberi pertimbangan mengenai nama para calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur di Tanah Papua agar memperhatikan dengan cermat dengan seksama hal ini dari awalnya agar tidak sampai menimbulkan keresahan sosial politik di kalangan rakyat asli Papua yang senantiasa mengalami terpinggirkan dari perolehan akses terhadap hak-hak politik mereka secara tidak adil dari waktu ke waktu, ” pungkasnya.
Ada 5 Poin Pemberian kesempatan kepada orang Papua untuk menjadi gubernur di tanah Papua memiliki beberapa alasan penting:
1. Representasi: Membuat orang Papua menjadi gubernur memastikan bahwa kepentingan, kebutuhan, dan aspirasi masyarakat lokal diwakili secara adekuat dalam pengambilan keputusan pemerintahan.
2. Pemahaman Budaya dan Konteks Lokal: Orang Papua yang menjadi gubernur cenderung memiliki pemahaman yang lebih baik tentang budaya, bahasa, dan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Papua, sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang lebih sesuai dengan konteks lokal.
3. Memperkuat Kedaulatan Lokal: Dengan memiliki gubernur Papua, pemerintah daerah dapat memperkuat kedaulatan lokal dan memberdayakan masyarakat Papua untuk mengelola sumber daya dan membangun daerah mereka sendiri.
4. Menciptakan Keterhubungan Emosional: Kepemimpinan orang Papua di tingkat gubernur dapat menciptakan keterhubungan emosional dan rasa kepercayaan antara pemimpin dan rakyat, yang penting untuk membangun solidaritas dan kohesi sosial di dalam masyarakat.
5. Mengurangi Ketegangan Sosial: Pemberian kesempatan kepada orang Papua untuk memimpin daerah mereka sendiri dapat membantu mengurangi ketegangan sosial dan politik serta meningkatkan legitimasi pemerintahan di mata masyarakat Papua.
Melalui semua ini, pemberian kesempatan kepada orang Papua untuk menjadi gubernur di tanah Papua bertujuan untuk memperkuat otonomi daerah dan mempromosikan kesejahteraan serta keadilan bagi seluruh masyarakat Papua.