Suara Jurnalis | Manokwari, — Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari mendesak Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, untuk segera menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Papua. Desakan ini disampaikan langsung oleh Direktur Eksekutif LP3BH, Yan Christian Warinussy, SH, yang juga dikenal sebagai Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia.
Menurut Warinussy, pembentukan KKR merupakan amanat konstitusional sebagaimana tertuang dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Pasal tersebut menyebutkan bahwa dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa, dibentuklah KKR yang bertugas melakukan klarifikasi sejarah Papua serta merumuskan langkah-langkah rekonsiliasi nasional.
Ia menegaskan, keberadaan pasal ini merupakan pengejawantahan dari aspirasi luhur rakyat Papua yang selama ini mendambakan keadilan dan pengakuan atas sejarah panjang integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, hingga kini, KKR belum terbentuk meskipun sudah 24 tahun UU Otsus Papua diberlakukan.
LP3BH menilai situasi keamanan di Papua, khususnya di wilayah Provinsi Papua Pegunungan dan Papua Tengah, terus memburuk akibat konflik bersenjata antara TNI/Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) atau yang kerap disebut Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Warinussy menekankan bahwa penggunaan istilah KKB sering kali menjadi justifikasi atas operasi militer yang berdampak langsung terhadap keselamatan warga sipil Papua asli.
“Banyak korban jiwa justru berasal dari kalangan sipil, dan ini menciptakan trauma berkepanjangan serta menghambat proses penyelidikan pelanggaran HAM. Padahal, perlindungan HAM merupakan kewajiban negara,” kata Warinussy. Senin, (14/07/2025).
Ia menambahkan bahwa konflik-konflik ini seharusnya bisa diselesaikan melalui pendekatan dialog dan rekonsiliasi yang bermartabat. Salah satu prasyarat utama dari proses tersebut adalah kehadiran KKR yang mampu mengklarifikasi sejarah Papua secara objektif dan terbuka.
Warinussy juga menyoroti bahwa integrasi politik Papua pada 1963 dan pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 masih menyisakan perdebatan hingga kini, baik dari sisi proses maupun legitimasi hasilnya. “Kini saatnya negara duduk bersama rakyat Papua untuk membahas sejarah itu secara terhormat, bukan dengan kekerasan,” tegasnya.
Menurutnya, selama ini segala bentuk protes atau gugatan yang disuarakan oleh elemen masyarakat Papua seringkali dipandang sebagai tindakan makar. Hal ini menyebabkan aparat negara merespons secara represif dan bahkan menimbulkan pelanggaran HAM berat.
LP3BH menilai bahwa pendekatan keamanan semata hanya akan memperpanjang siklus kekerasan dan memperdalam luka sejarah. Oleh karena itu, satu-satunya jalan ke depan adalah melalui pembentukan KKR sebagai sarana pengungkapan kebenaran, pengakuan korban, dan rekonsiliasi nasional.
“Papua tidak butuh lebih banyak senjata. Yang dibutuhkan adalah ruang dialog dan pengakuan atas sejarah dan hak-hak dasar rakyat Papua,” kata Warinussy dalam pernyataan resminya.
Lebih lanjut, Warinussy menilai bahwa pembentukan KKR tidak hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat, namun juga memerlukan dukungan penuh dari Gubernur Papua untuk mengusulkan keanggotaan dan struktur KKR sebagaimana diatur dalam Pasal 46 ayat (3).
Sebagai penutup, LP3BH Manokwari menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat sipil, gereja, dan organisasi HAM untuk bersatu mendorong terbentuknya KKR Papua. “Tanpa kebenaran, tidak akan ada keadilan. Dan tanpa keadilan, tidak akan ada perdamaian di Tanah Papua,” pungkas Warinussy.
(Refly)