Suara Jurnalis | MANOKWARI — Sidang perkara dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) pada proyek peningkatan Jalan Mogoy-Merdey Tahun Anggaran 2023 kembali digelar di Pengadilan Negeri Manokwari Kelas I A pada Rabu (18/6/2025).
Sidang ini merupakan lanjutan dari pemeriksaan sejak sidang perdana yang dimulai pada Kamis, 10 April 2025, dengan lima terdakwa yang hadir: Najamuddin Bennu, Daud, Adi Kalalembang, Naomi Kararbo, dan Beatrick S.A. Baransano.
Dalam agenda sidang kali ini, majelis hakim yang dipimpin oleh Hakim Ketua Helmin Somalay, SH, MH, mendengarkan keterangan saksi dari pihak Bank Papua, yakni Telly Librian Karubaba.
Saksi Karubaba adalah Pimpinan Kantor Cabang Pembantu (KCP) Bank Papua yang berkantor di Kantor Gubernur Provinsi Papua Barat. Ia telah bekerja di Bank Papua sejak tahun 2008.
Karubaba menjelaskan bahwa pencairan dana untuk proyek peningkatan Jalan Mogoy-Merdey dilakukan dua kali pada tahun anggaran 2023.
Pencairan pertama terjadi pada 13 September 2023 senilai Rp 2.560.548.600, berdasarkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) Nomor 33.00/04.0/000234/LS/1.03.04.00.01.0000/P.03/9/2023.
Kemudian pencairan kedua, sebesar 100 persen dari total anggaran, terjadi pada 28 Desember 2023 dengan nominal Rp 5.974.613.400 berdasarkan SP2D Nomor 33.00/04.0/001272/LS/03.1.04.0.00.01.0000/P.04/12/2023.
Dalam sidang, saksi menyampaikan bahwa dokumen SP2D diterima langsung dan divalidasi oleh pihak bank sebelum dana ditransfer ke rekening perusahaan atas nama CV Gloria Bintang Timur.
Penasihat Hukum Terdakwa Najamuddin Bennu, Advokat Piter Welikin, SH, mempertanyakan siapa yang menandatangani dokumen SP2D tersebut.
Saksi menjawab bahwa ia melihat tanda tangan Kepala Dinas PUPR Provinsi Papua Barat, yakni terdakwa Najamuddin Bennu, sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), serta dua paraf yang tidak diketahui pemiliknya.
Saksi juga menegaskan bahwa dalam kedua proses pencairan terdapat lampiran pajak yang menjadi syarat administrasi pencairan.
Karubaba menyatakan, “Kami hanya memproses berdasarkan dokumen SP2D yang telah lengkap dan melakukan transfer sesuai rekening yang tertera.”
Ketika ditanya tentang keberadaan bank garansi dalam permohonan pencairan dana 100 persen, saksi menjawab dengan tegas bahwa dirinya tidak mengetahui atau menerima dokumen tersebut.
Pernyataan ini memperkuat dugaan bahwa pencairan dana dalam proyek ini dilakukan tanpa jaminan bank garansi, yang seharusnya menjadi persyaratan penting dalam pencairan akhir proyek infrastruktur.
Selanjutnya, Penasihat Hukum Terdakwa Naomi Kararbo dan Beatrick Baransano menanyakan apakah saksi Karubaba pernah bertemu atau berkomunikasi dengan klien mereka dalam proses pencairan dana.
Dengan lugas, saksi menjawab, “Saya tidak pernah bertemu dan tidak pernah berkomunikasi dengan Terdakwa Naomi Kararbo maupun Beatrick Baransano.”
Pernyataan ini memperkuat bahwa keterlibatan dua terdakwa perempuan Papua Asli tersebut dalam proses pencairan dana belum dapat dibuktikan secara langsung.
Sementara itu, Penasihat Hukum Terdakwa Daud dan Adi Kalalembang, Advokat Patrix Barumbun, SH, memilih untuk tidak mengajukan pertanyaan karena keterangan saksi dianggap tidak berkaitan langsung dengan klien mereka.
Hingga hari ke-empat sidang pemeriksaan saksi, belum ada satupun saksi yang menjelaskan keterlibatan aktif Naomi Kararbo selaku Bendahara Pengeluaran maupun Beatrick Baransano selaku Kasubag Keuangan.
Fakta ini menguatkan dugaan bahwa dakwaan terhadap kedua terdakwa belum didukung oleh bukti kuat yang menunjukkan perbuatan melawan hukum secara bersama-sama.
Advokat dan pengamat hukum menyebut situasi ini sebagai ujian objektivitas hukum, khususnya terhadap terdakwa dari kelompok minoritas perempuan Papua.
Menutup sidang, Hakim Ketua Helmin Somalay menegaskan kepada JPU agar menghadirkan lebih banyak saksi pada sidang berikutnya.
“Jangan hanya satu saksi, waktu penahanan para terdakwa terbatas,” ucapnya.
Sidang ditunda dan dijadwalkan kembali pada Rabu, 25 Juni 2025, dengan agenda pemeriksaan lanjutan saksi dari pihak Kejaksaan Negeri Teluk Bintuni.
Perkara ini terus menyita perhatian publik di Papua Barat, terutama karena melibatkan pejabat aktif, dana publik yang besar, serta unsur dugaan kriminalisasi terhadap ASN perempuan.
(Refly)